Page 16 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 16

26

          jika agenda reformasi politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam tidak
          lagi diletakkan dalam kerangka kebangsaan, maka mimpi buruk akan
          terjadinya disintegrasi bisa jadi akan menjadi kenyataan.

                   Mempelajari dinamika konflik sebagaimana penjelasan di atas,
          tentunya kita sepakat, bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami
          “krisis nasionalisme, krisis kebangsaan”, setidaknya kita mencari-cari
          kembali nasionalisme masa lalu yang mampu menggerakkan rakyat
          untuk mencapai Indonesia merdeka. Ada kekhawatiran bahwa
          lunturnya nasionalisme atau semangat kebangsaan disebabkan karena
         pengaruh era globalisasi dan dominasi kapitalisme serta era pasar
         bebas belakangan ini.

                   Dewasa ini, nasionalisme atau semangat kebangsaan di
         Indonesia menjadi fokus analisis para intelektual di dalam dan luar
         negeri. Salah satu analis Barat, belum lama ini, Prof Dr. Robert I
         Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of
         Government, Harvard University, ASKmenegaskan bahwa krisis multi
         dimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif dan cepat. Hal
         ini merupakan suatu keharusan, mengingat Indonesia saat ini berada
         dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara-bangsa
         (nation building) lemah yang bergerak menuju negara yang gagal.11

                   Dalam tatanan masyarakat maju dan mandiri, di mana lintas
         batas tidak lagi jelas, justru semangat kebangsaan amat memegang
         peranan sentral. Semangat kebangsaan bukan hanya menjadi push
         power untuk berpacu dan mampu bersaing dengan negara lain, tetapi
         secara simultan paham kebangsaan sekaligus juga menjadi daya

11 Arief Budiman. Prof, Tentang perlunya Indonesia di era Transisi Demokrasi ini memiliki
kepemimpinan yang efektif, kuat dan komited, guna membangun sistem yang kuat, demokratis
dan menegakkan supremasi hukum, Jakarta, 2004.
   11   12   13   14   15   16   17   18