Page 16 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 16

BAB VI
           SISMENAS DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NASIONAL

                  MENCEGAH BERKEMBANGNYA ANCAMAN TERORISME

  24. Umum

           Gelombang kekerasan terus berlanjut seolah terns dilembagakan, institutionalized
  violence dan peristiwa teror juga meningkat, belum omnium contra omnes, perang oleh
  semua melawan semua. Aksi teror berlangsung di pengadilan, dalam proses pembebasan
 tanah, teror ninja, teror politik, hingga aksi corat-coret di LBH Jakarta. Sejauh dilihat
 dampaknya, rangkaian kejadian itu lebih menimbulkan sensasi bagi masyarakat luas
 ketimbang ketakutan mencekam secara kolektif. Secara kualitatif pula, aksi pendudukan
 kaum militan Republik Maluku Selatan (RMS) terhadap kantor-kantor perwakilan RI di
 Belanda tahun 1970-an, masih berada dalam koridor tindakan teror, bukan terorisme.

           Kualiflkasi serupa tampaknya juga berlaku bagi tiga kasus pembajakan pesawat di
 Indonesia. Aksi teror udara paling dramatis menimpa pesawat DC-9 Woyla milik Garuda
 Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat dengan nomor penerbangan GA-206 itu dibajak
 dalam penerbangan dari Palembang ke Medan, dan kemudian dipaksa mendarat di Penang,
 Malaysia, dan selanjutnya ke Bandar Udara Don Muang Bangkok, Thailand. Sebelum kasus
 pembajakan pesawat Woyla, dua kasus serupa pemah mengguncang dunia penerbangan
 Indonesia, tetapi pesawat-pesawat itu tidak dipaksa terbang ke luar negeri. Pembajakan
 pertama menimpa pesawat Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines tanggal 4
 April 1971 dalam penerbangan dari Surabaya ke Jakarta.

          Drama ini berakhir dengan tewasnya pembajak oleh tembakan. Manusia bisa menjadi
 serigala bagi yang lain, homo homini lupus. Sekitar 5,5 tahun kemudian, pembajakan udara
 teijadi Iagi. Pesawat DC-9 Garuda dibajak seorang diri yang diidentifikasi sebagai Triyudo
 (27 tahun). Dengan sebilah badik, kaiyawan sipil honorer TNI-AU itu mulai beraksi dengan
menyandera seorang pramugari dalam penerbangan Surabaya-Jakarta tanggal 5 September
 1977. Rangkaian aksi pembajakan udara itu disebut teror karena lebih dari sekadar tindakan
kekerasan. Teror atau terorisme tidak identik dengan kekerasan. Bisa saja kekerasan teijadi
tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.

          Tidak seperti perang, termasuk perang saudara, yang bisa diramalkan dengan berbagai
cara, aksi teror justru berlangsung tiba-tiba dan di luar dugaan. Terorisme tidak sama dengan
intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan
terorisme tidak. Kamavian (2011) mengintrodusir pendapat Marc Sageman dalam Leaderless
Jihat menjelaskan tiga generasi terorisme di dunia barat pasca konflik Afganistan - Soviet,
1989. Generasi pertama adalah kelompok inti A1 Qaidah yang bertanggungjawab atas
penyerangan World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat tanggal 11 September 2001.

                                                                                                                     70
   11   12   13   14   15   16   17