Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2
BAB VI
KONSEPSI OPTIMALISASI KEWASPADAAN NASIONAL
TERHADAP KONFLIK SOSIAL PEDESAAN
24. Umum
Konflik sosial yang kerap terjadi diberbagai wilayah menunjukkan secara
makro betapa rapuhnya bangunan integrasi sosial dan ketahanan nasional
ditengah era reformasi dan demokrasi. Cita-cita reformasi bukan saja bertujuan
membentuk pemerintahan yang demokratis, namun membangun masyarakat
Indonesia yang menghargai keberagaman dan perbedaan baik perbedaan ide
atau pendapat maupun keberagaman alamiah seperti kelompok atau golongan,
etnitas, budaya atau nilai-nilai budaya dan tradisi yang melekat di dalamnya.
Bangunan masyarakat Indonesia baru harus bercorak masyarakat multikultural
yang majemuk" (plural society), yakni corak masyarakat ‘ bhinneka tunggal ika”
yang tidak saja didasarkan atas keanekaragaman kelompok etnis atau suku
bangsa dan kebudayaan, melainkan juga atas dasar keanekaragaman
kebudayaan masyarakat (Parsudi Suparlan : 2002).
Keberagaman suku bangsa, etnis, kebudayaan dan agama sudah lama
terbina, kini menghadapi tantangan dan ancaman yang dapat memporak-
porandakan mosaik kebhinnekaan tersebut. Penerapan sistem demokrasi yang
seharusnya mampu memberikan ruang hidup yang lebih besar bagi
perkembangan keberagaman tersebut, ternyata justru melahirkan paradox
demokrasi itu sendiri. Munculnya berbagai kelompok-kelompok masyarakat atau
ormas yang mengusung politik identitas kesukuan atau keagamaan telah menjadi
"anak haram" dari demokrasi. Kehadiran mereka dianggap mengggerogoti sendi-
sendi demokrasi, padahal mereka lahir dari “rahim" demokrasi itu sendiri. Berbagai
kasus konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah cenderung berlatarbelakang
sentimen kesukuan (etno-nasionalisme) dan sentimen keagamaan
(primordialisme).
Dalam konteks kewaspadaan nasional, pemerintah memiliki tanggungjawab
untuk mengatur dan mengatasi berbagai persoalan konflik yang lahir dari
perbedaan suku bangsa, etnis, kebudayaan dan agama tersebut. Konflik sosial
70

