Page 16 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 16
nasional telah mengalami marjinalisasi. Pada setiap peristiwa guncangan politik
yang terjadi di sepanjang sejarah negara ini, orang Tionghoa, yang telah menjadi
bagian yang utuh dari negara ini sejak 400 tahun SM, sering menjadi sasaran
kekerasan massa. Contoh yang paling mutakhir terjadi pada Mei 1998.
Sesudah revolusi yang mengakibatkan lengsernya Suharto dari tampuk
kekuasaan pada Mei 1998, kerusuhan yang menyulut di Jakarta ketika massa
merampok, membunuh, dan memperkosa ratusan orang Tionghoa. Mereka juga
merusak dan merampok rumah dan bangunan milik orang Tionghoa. Kerusuhan
Mei 1998 sayangnya mengungkapkan bahwa orang Tionghoa tetap menjadi
bagian yang tidak diinginkan dalam tatanan ras dan budaya Indonesia meskipun
mereka mematuhi kebijakan asimilasi Suharto4.
Pada tahun 1965 Suharto mulai berkuasa sesudah upaya kudeta yang
digagalkan (dikenal dengan sebutan gerakan 30 September atau G30S atau
gestapu) yang ditengarai didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia, yang di
dalamnya diduga terdapat masyarakat Tionghoa yang terlibat). Di masa sesudah
upaya kudeta tersebut, pecah kerusuhan anti-Tionghoa di kota-kota besar di
Indonesia. Dalam kerusuhan ini, massa menyerang sekolah dan organisasi
masyarakat Tionghoa dan merusak mobil, motor, rumah, dan toko milik orang
Tionghoa untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap Tiongkok,
orang Tionghoa, atau kepada penganut aliran Komunis (Coppel, 1983). Selama
proses penghancuran ini, ratusan orang Tionghoa dibunuh, menderita serangan
kekerasan, atau ditangkap.
Di tengah-tengah kekacauan yang terjadi kemudian, Suharto memimpin
kampanye menentang semua jejak Komunisme, yang dituduhkan telah didukung
4 Salah satu peraturan berdasarkan kebijakan asimilasi ini adalah Instruksi Kabinet Presidium no.
37/U/lN/6/1967, Kebijakan Dasar untuk Mengatasi Masalah Orang Tionghoa, yang diterbitkan pada
tanggal 7 Juni 1967, dan ditandatangani oleh Suharto sebagai ketua Kabinet Presidium Ampera.
Meskipun kebijakan asimilasi ini mengakibatkan pengikisan bahasa dan kebudayaan Tionghoa,
dapat juga dipandang sebagai upaya positif dari pemerintah untuk mengurangi prasangka
terhadap masyarakat Tionghoa. Ini merupakan bagian dari rencana Suharto untuk menekankan
keselarasan etnik dan keagamaan dan mengurangi kebencian dalam bangsa Indonesia.
2

