Page 17 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 17
oleh Sukarno. Karena orang Indonesia Tionghoa diduga memiliki ikatan erat
dengan Tiongkok Komunis, Suharto menerapkan kebijakan asimilasi yang
mengakibatkan pengikisan bahasa serta kebudayaan Tionghoa.
Menurut kebijakan asimilasi tersebut, pemerintah menutup semua sekolah
berbahasa Tionghoa dan mengharuskan anak-anak keturunan Tionghoa masuk
sekolah berbahasa Indonesia. Di sekolah-sekolah ini, orang Tionghoa harus
mempelajari sejarah, politik, dan kehidupan bermasyarakat berbarengan dengan
teman-teman mereka. Di samping penutupan sekolah-sekolah ini, dilarang pula
pengimporan terbitan dalam bahasa Tionghoa5, dan semua bentuk serta
pengungkapan yang dapat ditelusuri asal-usul kebudayaan Tionghoanya, seperti
perayaan Tahun Baru Imlek (Tan, 1999). Seiring dengan kebijakan asimilasi
tersebut, organisasi Tionghoa dibubarkan (kecuali rumah abu dan beberapa
organisasi agama) dan etnis Tionghoa diimbau untuk mengganti nama mereka
untuk membuktikan loyalitas mereka terhadap bangsa Indonesia6. Penting untuk
diperhatikan di sini bahwa, meskipun kebijakan asimilasi ini mengakibatkan
pengikisan bahasa dan kebudayaan Tionghoa, dapat juga dipandang sebagai
upaya positif sari pemerintah untuk mengurangi prasangka terhadap masyarakat
Tionghoa. Hal ini merupakan bagian dari rencana Presiden Suharto untuk
menekankan keselarasan etnik dan keagamaan dan mengurangi kebencian di
dalam bangsa Indonesia. Namun, kebijakan tersebut tidak pernah ditinjau ulang
atau direvisi selama 33 tahun pemerintah Orde Baru, yang berakhir dengan
tragedi Mei 1998, di mana banyak etnis Tionghoa menjadi sasaran massa7.
5 Keputusan Departemen Perdagangan dan Koperasi untuk Menteri Perdagangan dan Koperasi no.
286/KP/XII/78, Larangan Mengimpor, Memperdagangkan dan Menyebarkan Semua Jenis Bahan
Cetakan dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember,
1978, dan ditandatangani oleh Radius Prawiro, menteri perdagangan dan koperasi.
6 Instruksi Kabinet Presidium no. 127/UKEP/1966, Kebijakan Penggantian Nama Untuk Warga Negara
Indonesia yang Memiliki Nama Tionghoa, dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1966, dan
ditandatangani oleh Suharto sebagai Ketua Kabinet Presidium Ampera. Lihat Suryadinata, Leo (1999).
untuk pembahasan kebijakan tersebut.
7 Lihat artikel-artikel di Kompas (1998), The Washington Post (1998) dan The New York Times (1998)
mengenai tragedi Mei 1998. Perlu ditekankan di sini bahwa korban kerusuhan Mei 1998 juga meliputi
korban pribumi, bukan hanya dari etnis Tionghoa saja.
3

