Page 17 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 17

3

 kesediaan pangan rakyat". Maknanya, ketersediaan pangan tidak hanya cukup
 untuk saat ini, tetapi juga bagaimana ketersediaan pangan untuk waktu
 berikutnya sejalan dengan bertambahnya manusia agar tidak terjadi krisis
 pangan. Hal inilah yang mendasari perlunya memahami fenomena
 pemberdayaan potensi wilayah agar terjaga keseimbangan antara
 pertumbuhan penduduk dengan penyediaan pangan

          Berbicara tentang pemberdayaan potensi wilayah untuk kecukupan dan
penambahan persediaan pangan, terlihat adanya fenomena dalam konteks
ruang yang obyeknya tempat produksi pangan yaitu lahan dan sumber daya
manusia sebagai produsen dan konsumen pangan tersebut. Perhatian itu
dilakukan dengan selalu mengkaji faktor alam dan faktor manusia, dan
keterkaitan keduanya yang membentuk integrasi keruangan di wilayah yang
bersangkutan, seperti perubahan iklim yang ekstrim dampaknya sangat
signifikan terhadap keberhasilan panen dan tidak menentunya musim tanam.

          Disisi lain dengan budaya bangsa yang sangat komsumtif terhadap
energi, serta memaksa masyarakat Indonesia untuk konsumtif terhadap beras,
akibatnya meninggalkan budaya (culture) dan kelolanya maupun kebiasaan
(habif) akan makanan keseharian mereka. Dampak tersebut berakibat pada
tingginya konsumsi beras nasional yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
lahan pangan, oleh karena masyarakat sudah terbiasa dengan konsumsi beras,
yang pada mulanya mengkonsumsi sagu maupun umbi-umbian sebagai
makanan pokok dibeberapa daerah di Indonesia. Sehingga berdampak pada
tingginya dan terus meningkatnya konsumsi beras nasional yang tidak
diimbangi dengan ketersediaan lahan pangan

          Fenomena, interelasi, interaksi, integrasi keruangan tersebut analisisnya
selalu menggunakan disiplin ilmu geografi. Pemberdayaan potensi wilayah
selama ini belum sepenuhnya berorientasi pada geografi. Hal ini dapat dilihat
dari sedikitnya wilayah yang memiliki pola keruangan wilayah (zoning) untuk
pertanian, pertanian diatas lahan satu hektar lebih banyak dikelola oleh
pengusaha dimana petani hanya sebagai buruh tani (petani gurem). Kemudian
antar wilayah kurang adanya sistem pertanian yang saling memperkuat,
akibatnya jenis hasil tani sama, sehingga di satu sisi jenisnya berlebihan, dan
   12   13   14   15   16   17   18   19   20