Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
20
pertama, yaitu pre-conventional yang terdiri dan punishment
(hukuman) dan obedience (kepatuhan) serta naive
instrumental behaviorism (perilaku instrumental sewajamya).
Tingkat kedua, yaitu conventional yang meliputi begin to
judge behavior by intention (mulai untuk menyesuaikan
perilaku dengan sengaja) dan law and order mentality (mental
aturan). Tingkat ketiga atau tertinggi, yaitu postconventional
autonomous or principled yang meliputi an individual makes
moral decision legalistically (individu membuat keputusan
moral secara hukum) dan an informed conscience defines
what is right (hati nuraninya mendefinisikan apa yang benar).
Berdasarkan tingkatan pengembangan moral Kohlberg
ini, maka pendidikan karakter dilaksanakan dengan metode
tiga tahapan tersebut. 21
b. Teori Nasionalisme
Hugh Seton-Watson (1977) memperkenalkan proposisi
bahwa nasionalisme memiliki dua makna. Pertama, itu bisa menjadi
doktrin tentang karakter, hak dan kewajiban negara. Kedua, itu
adalah gerakan politik yang terorganisir, yang dirancang untuk
memajukan dugaan tujuan. Hal tersebut tertuang dalam bukunya
Nation and States, yaitu “Nationalism has two meanings. Firstly, it
can be a doctrine about character, rights and duties o f nations.
Secondly, it is an organized political movement, designed to further
the alleged aims".22
Selanjutnya, John Plamenatz mengemukakan bahwa
Nationalism is the desire to preserve or enhance a people's national
or cultural identity when that identity is threatened, or the desire to
transform or even create it where it is felt to be inadequate or
21 Anita Woolfolk. Educational Psychology, Edisi ke-10, Pustaka Pelajar Jogyakarta 2009
22 Hugh Setton-Watson, Nations and States (London: Methuen, 1977), pp. 2-3

