Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2

44

   tersebut rr|erupakan bagian dari kewenangannya untuk ikut membahas.
   Pertanyaap yang kemudian muncul adalah draft RUU tersebut sampai
  di tangan DPD RI melalui DPR RI atau Presiden RI. Permasalahan
  legislasi antara DPR RI dan DPD RI akan semakin meruncing apabila
  tidak jelas mengenai siapa yang berwenang menentukan untuk
  menyatakan bahwa RUU ini harus atau tidak harus melibatkan DPD RI
  dalam prosesnya.

      Selain proses legislasi, permasalahan lain yang mengemuka adalah
  mengenai teknis pembahasan antara DPR RI dengan DPD RI. Dalam
 tata tertib DPR RI pasal 132 ayat (5) terlihat DPR RI membatasi
 keikutsert^an DPD RI dengan menyebut komisi atau badan legislasi
 yang ditugaskan dalam membahas sebuah RUU. DPD RI diundang
 sebanyak-banyaknya 1/3 dari jumlah anggota alat kelembagaan DPR.
 Tata tertil} DPR RI yang membatasi jumlah peran DPD RI, dalam
 jumlah hal, ternyata juga dibuat tanpa persetujuan DPD RI.

     Ketidakkonsistenan mengenai fungsi DPD RI dalam legislasi
 kembali terlihat pada Program Legislasi Nasional atau Prolegnas.
Dalam kaitannya dengan pengajuan RUU, DPD RI berwenang
mengajukan RUU. Namun dalam menyusun Prolegnas tahun 2006
misalnya, DPD RI tidak tidak dilibatkan. Hal ini sangat bertentangan
apabila kita melihat UU nomor 10/2004 pasal 17 ayat (1) yang
menyebut “Rancangan Undang-Undang baik yang berasal dari DPR,
Presiden, maupun dari DPD dsusun berdasarkan program legislasi
nasional”. DPR hanya menyamakan kedudukan DPD-RI ini sama
dengan fraksi, komisi dan masyarakat.

    Pengebirian fungsi DPD RI yang berpengaruh pada pengebirian
peran DPp RI juga berlanjut dalam ayat (3) UU no. 10/2004 pasal 17
yang menyebutkan “dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat
mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi
Nasional”. Dalam hal ini ketua DPR pada periode 2004-2009 Agung
Laksono menyatakan DPD dapat mengajukan usulan DPD, akibatnya
   1   2   3   4   5   6   7