Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14
30
Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK
sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas sumber
daya manusia kita. Dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia, maka
Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini. Perlu sekali
diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak
dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek
ekonomi, budaya maupun informasi dan komunikasi. Untuk itulah filterisasi sangat
diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam
upaya peningkatan sumber daya manusia dapat ditekan seminimal mungkin. Para ahli
sepakat bahwa pembangunan di Indonesia juga sudah semestinya mengandalkan
sumber daya manusia. Dengan tersedianya sumber daya yang memadai dalam arti
kuantitas dan kualitas, maka tantangan di masa mendatang akan bisa diatasi dengan
baik. Para ahli juga sepakat bahwa kualitas sumber daya manusia yang sekarang kita
miliki masih perlu ditingkatkan, agar tantangan tersebut bisa teratasi dengan baik. Lebih
lanjut, untuk mengembangkan sumber daya manusia, perlu juga diingat bahwa ada
beberapa hambatan besar yang tentu akan dihadapi. Secara garis besar hambatan itu
ada dua, hambatan dari dalam dan hambatan dari luar. Akan tetapi menurut data World
Bank, untuk negara berkembang seperti Indonesia, hambatan dari dalam lebih besar
pengaruhnya. Karena alasan ini pula, maka dalam pembicaraan selanjutnya juga akan
banyak dibicarakan tentang kondisi sumber daya manusia kita sendiri.
Kondisi sumber daya manusia Indonesia saat ini dapat tergambarkan dari dua hal
disamping hal-hal lain, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Pada tahun 1971 hingga
2010, kenaikan proporsi penduduk yang berpendidikan cukup baik. Namun kita sadar
bahwa yang telah dicapai tersebut “belum memuaskan". Disamping masih ada
sebagian yang belum mengenyam pendidikan formal, kebanyakan usianya lanjut,
sementara proporsi yang pendidikannya rendah cukup besar.30 Oleh karena itu bisa
dimengerti bila pemerintah mengenakan wajib sekolah hingga 9 tahun masa belajar
(setingkat SLTP). Kenaikan jumlah yang berpendidikan formal ini disertai juga dengan
kecenderungan naiknya tingkat pendidikan angkatan kerja. Sekali lagi, kita tidak boleh
cepat puas dengan keadaan ini. Disamping perbedaan tempat (desa-kota) dan jenis
kelamin yang masih menjadi masalah, angkatan kerja yang tingkat pendidikannya
rendah masih menonjol. Kita barangkali sepakat, bahwa dimasa mendatang dibutuhkan
30 Sunarto Kamanto, Sosiologi Kelompok, Jakarta: Pusat Antar-Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas
Indonesia,1992.

