Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
46
pelayanan operasional pelabuhan. Demikian halnya, kualitas tenaga
kerja bongkar muat yang rendah dan sikap mental para operator
pelabuhan turut memberikan andil terhadap rendahnya kualitas
pelayanan pelabuhan nasional.
Aksesibilitas transportasi laut diukur dari ketersediaan simpul
pelabuhan dibandingkan dengan luas wilayah perairan dan garis
pantai, relatif cukup memadai. Pada tahun 2012, dari setiap 10.000 km2
wilayah daratan nasional telah dilayani oleh 14 pelabuhan atau dari
setiap 50 km garis pantai telah terbangun satu pelabuhan. Dan setiap
10.000 km2 luas wilayah daratan dilayani 6 pelabuhan umum atau
setiap 100 km garis pantai terdapat satu pelabuhan umum,
dibandingkan dengan Jepang, setiap 60 km garis pantainya terdapat
satu pelabuhan umum. Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan jumlah
pulau yang berpenghuni di Indonesia, maka setiap satu pulau yang
berpenghuni, tersedia satu pelabuhan. Akan tetapi kondisinya tidak
demikian, karena sebagian besar pelabuhan terkonsentrasi di pulau-
pulau besar, sehingga hanya sedikit pulau-pulau kecil yang memiliki
pelabuhan umum. Idealnya di setiap pulau yang berpenghuni, dilayani
minimal satu pelabuhan umum.
c. Lemahnya keterpaduan penyelenggaraan transportasi laut.
Permasalahan penyelenggaraan transportasi laut dilihat dari gatra
politik, terutama berkaitan dengan desentralisasi pemerintahan.
Keterpaduan penyelenggaraan transportasi laut antara berbagai
Stakeholder dirasakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,
terutama terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Kegiatan
pembangunan, pengusahaan, pemberian perizinan dan pengawasan
sarana, prasarana dan kegiatan operasional belum terlaksana secara
terpadu, mulai dari kegiatan perencanaan sampai pelaksanaan. Hal ini
disebabkan, belum tersusunnya berbagai dokumen Tataran
Transportasi sebagai penjabaran dari dokumen Sistem Transportasi
Nasional (Sistranas).
Adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten /