Page 18 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 18

disintegrasi bagi negara multikultural seperti Indonesia, sangat mungkin menjadi
suatu keniscayaan.

         Begitu juga halnya di bidang politik, masih berkembang wacana yang
mengarah kepada rapuhnya nilai-nilai ke Indonesiaan. Suasana “hiruk pikuk”
dalam kehidupan politik nasional menjadi sulit dihindari karena masing-masing
faksi pelaku politik, saling berlomba untuk menonjolkan kepentingannya.
Kebijakan Pemerintah untuk memberlakukan Otonomi Daerah sebagai salah satu
upaya dalam mempercepat pemulihan krisis dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah, terkesan lebih disikapi sebagai peluang untuk
mengeksplorasi kepentingan daerah sebesar-besarnya secara sektoral. Pasca
pemberlakuan Undang-Undang Nomor: 32 tahun 2004 menimbulkan ketimpangan
antar daerah otonom yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya tinggi dan
PADnya rendah, yang tidak mustahil akan menimbulkan konflik antar daerah.
Beberapa persoalan yang telah menimbulkan konflik antar masyarakat dan antar
daerah misalnya, adalah masalah pengkavlingan wilayah laut oleh nelayan
masing-masing daerah. Masyarakat menganggap wilayah laut diwilayahnya
merupakan haknya yang tidak dapat dicampuri oleh penduduk daerah lain.
Pemisahan wilayah secara keruangan dan ketegangan serta konflik sosial
kemasyarakatan sebagai akibat egoisme daerah, tumbuhnya raja-raja kecil oleh
para pemimpin daerah karena masih ada anggapan bahwa Otonomi Daerah
adalah pembagian kekuasaan dari pusat ke daerah.

         Adanya "money politic” dalam pemilihan kepemimpinan daerah berakibat
pada penyalahgunaan wewenang demi kepentingan sendiri, maraknya korupsi
kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi budaya di daerah, eksplorasi kekayaan alam
dan kerusakan lingkungan, pengejaran pencapaian target Pendapatan Asli
Daerah (PAD) setempat dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dengan
alasan untuk menaikan PAD maka PBB ada yang menaikan sampai 300 % yang
tentunya memberatkan masyarakat, ini merupakan kebijaksanaan yang keliru,
penegakkan hukum yang tidak tuntas, tidak transparan dan sebagainya. Belum
lagi kondisi kerjasama antar kepemimpinan daerah baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif pada akhir-akhir ini semakin sempit, mereka cenderung
membela kelompok dan partainya, tanpa menghiraukan lagi loyalitas
kebersamaan dalam skala yang lebih besar (keutuhan NKRI). Dengan demikian
maka kerja sama antara kepemimpinan daerah dan masyarakat terasa masih

                                                              4
   13   14   15   16   17   18   19   20