Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2
96
pemerintahan; serta lemahnya budaya hukum di kalangan aparatur
pemerintahan dan masyarakat luas.
Pokok-pokok permasalahan diatas, berimplikasi terhadap hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, penyusunan kabinet yang cenderung menggunakan pendekatan
kompromi politik, bukan berdasarkan atas pertimbangan kompetensi dan
profesionalisme, menciptakan kabinet yang berkinerja rendah. Komposisi
kabinet yang demikian, memberi peluang terjadinya ambivalensi sikap para
menteri, karena berasal dari beberapa partai politik yang berbeda visi dan
misi.
Kedua, penerapan sistem politik multi partai mendorong berkembangnya
fenomena "politik uang" untuk memperebutkan dukungan suara pemilih dalam
pelaksanaan pemilu, akibat ketatnya kompetisi antar partai peserta pemilu.
Hal ini menyebabkan: Wakil-wakil rakyat yang terpilih tidak berorientasi
kepada kepentingan rakyat. Kewenangan yang diperoleh kemudian
dimanfaatkan untuk mengembalikan "modal" yang telah dikeluarkan;
Menyulitkan pengambilan keputusan secara musyawarah, karena kuatnya
ego sektoral antar partai, sehingga hasil keputusan kurang mencerminkan
kebenaran yang sesungguhnya. Artinya, mekanisme voting seolah-olah
diyakini sebagai cara yang tepat untuk memperoleh kebenaran yang
sesungguhnya. Padahal, kebenaran tidak selalu datang dari kelompok
mayoritas, akan tetapi dapat datang dari kelompok minoritas; Keberadaan
kader parpol yang beragam dalam jabatan eksekutif (kepala daerah),
menyebabkan tidak efektifnya hubungan hierarki pemerintah pusat dan
daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan hubungan pemerintah provinsi
dengan kabupaten/kota.
Ketiga, Belum efektifnya penyelenggaraan otonomi daerah mendorong
berkembangnya sikap kedaerahan, karena otonomi daerah dimaknai sebagai
kebebasan daerah yang tanpa batas, sehingga seringkali melahirkan
peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Otonomi daerah juga memunculkan "kesewenang-wenangan" kepala daerah,

