Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
dominan masyarakat muiti etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola.
Teori tersebut menjadi landasan dalam pemecahan permasalahan
implementasi nilai sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam pelaksanaan
otonomi daerah guna meningkatkan kesadaran politik masyarakat dalam
rangka ketahanan nasional.
10. Tinjauan Pustaka
Sujanto (2007) dalam uAktualisasi Sesanti Bhinneka Tunggal Ika
Menghadapi Globalisasi Guna Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan
Bangsa Dalam Rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” menyimpulkan,
sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan atau
paseduluran harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat, melalui
lembaga-lembaga yang sudah ada seperti lembaga pemerintah, swasta,
lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan, lembaga
kepemudaan, agar terbangun hidup yang rukun, damai, aman, toleran,
saling menghormati, bekerjasama dan bergotong-royong, dalam rangka
persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mendukung implementasi
Bhinneka Tunggal Ika, harus ada regulasi yang memungkinkan
peningkatan kesejahteraan rakyat, karena hampir semua konflik horisontal,
lebih disebabkan oleh kesenjangan ekonomi dan rendahnya tingkat
kesejahteraan bagi masyarakat mayoritas.
Abu Hanifah (2010) dalam Toleransi Dalam Masyarakat Plural
Memperkuat Ketahanan Sosial" menyimpulkan di era reformasi
kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal
bangsa Indonesia. Semangat kebersamaan semakin menurun, dan
intoleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan
saling curiga di antara anak bangsa. Untuk mencegah dan menanggulangi
berbagai permasalahan sosial, perlu dibangun dan dikembangkan toleransi
dalam kehidupan pada masyarakat majemuk menggunakan pendekatan
sistem sosial dan sistem budaya.
Ahmat Yani (2010) dalam “Otonomi Daerah : Konsep, Filosofis Dan
Realitasnya” menyimpulkan, kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah
20