Page 19 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 19
5
mengkhawatirkan bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila
gubernur memiliki kewenangan sepenuhnya sebagai kepala daerah.
Padahal, peran gubernur sangat penting sebagai unsur perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bertanggungjawab kepada
presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat.
Jika diperjelas dalam UU Pemerintahan Daerah maka reposisi
peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengurangi masalah
implementasi UU 22/1999 juncto UU 32/2004 yang gagal mengubah
paradigma bupati/walikota sebagai “penguasa lokal” kabupaten/kota. Dua
UU yang tidak eksplisit menyebut hirarki antara provinsi dan
kabupaten/kota ternyata melemahkan peran gubernur sebagai wakil
pemerintah dalam melakukan pengawasan, pembinaan, dan koordinasi.
Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang menyebut masalah UU
32/2004 antara lain kabupaten/kota “tidak memiliki hubungan hirarki”
dengan provinsi, sehingga bupati/walikota “mengacuhkan” peran gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat.
Fenomenanya, pemerintah kabupaten/kota menghubungi
pemerintah pusat tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi, mereka
bekerjasama dengan pihak luar negeri, bupati/walikota melakukan
perjalanan dinas, dan perencanaan di kabupaten/kota tanpa
sepengetahuan pemerintah provinsi. Ironisnya, ketika pemerintah
kabupaten/kota menghadapi persoalan di daerahnya, seperti bencana,
penyakit, kelaparan, pertanahan, perbatasan, hukum, atau keamanan,
bupati/walikota meminta gubernur mengintervensi dan bertanggungjawab.
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengakui, akibat
penerapan otonomi daerah yang bertumpu di kabupaten/kota maka
pemerintah kabupaten/kota mengabaikan pemerintah provinsi. Jika
terkendala, barulah bupati/walikota berkoordinasi dengan gubernur.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluhkan kesulitannya
berkoordinasi dengan kabupaten/kota, karena di era otonomi daerah (UU
22/1999 dan UU 32/2004) hirarki terputus antarpemerintahan dan provinsi

