Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14
beras, hasil tambang, hasil pertanian dan produk segar maupun kapal
penumpang. Bukankah ironis, sebuah negara kepulauan tidak memiliki
industri perkapalan yang tangguh? Menanggapi persoalan tersebut
pemerintah melakukan terobosan melalui Inpres No. 5/2005 tentang
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Yakni dengan memberlakukan
azas cabotage (kewajiban menggunakan kapal domestik di perairan
nasional). Sejak pemberlakuan Inpres tersebut peningkatan kapasitas
armada bertambah menjadi 7.137 unit yang sebelumnya hanya 6.041 unit.
Sebagian besar berasal dari pengalihan kapal-kapal milik perusahaan asing
dialihkan menjadi berbendera Indonesia. Tak hanya itu, investasi di sektor
laut pun semakin ditingkatkan pemerintah untuk membangun armada kapal
baru ataupun bekas.
Berkembangnya industri perkapalan diharapkan meningkatkan armada
transportasi laut nasional. Ini selanjutnya akan meningkatkan perdagangan
domestik antar pulau dan membuka akses keterisolasian bagi daerah-daerah
yang berada di pulau-pulau kecil perbatasan. Seperti Pulau Nias, Natuna,
Weh (Sabang), dan Miangas. Dengan demikian, perekonomian masyarakat di
pulau-pulau perbatasan dapat lebih berkembang. Dan juga daerah yang
berbasis kepulauan seperti Maluku, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, NTT,
dan NTB, maupun Irian Jaya, sekaligus industri pariwisata baharinya. Daerah-
daerah yang memiliki taman laut seperti Bunaken, Wakatobi, Pulau Tujuh,
dan Takabonerate, tentu bisa berkembang lebih baik lagi.
Untuk pelayaran penumpang antar pulau, sebagian besar
mengandalkan pada kapal penumpang PT Pelni. PT Pelni selaku BUMN
mengemban dua fungsi sekaligus, yaitu misi bisnis dan misi sosial. Misi sosial
yang diemban oleh BUMN itu tidak lepas dari kebijakan politik untuk
menghubungkan setiap pelabuhan Indonesia, sehingga dalam melaksanakan
misi itu PT Pelni setiap tahunnya mendapatkan dana Public Service
Obligation (PSO) dari pemerintah. Dengan mendapatkan dana PSO, maka
PT Pelni dapat menetapkan tarif yang murah pada penumpang kelas
ekonomi, di mana selisih tarif murah itu dihadapkan pada biaya operasional
sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Kawasan Indonesia Timur
40