Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2
dan (7) karena dendam, yaitu konflik akibat masalah lama belum terpecahkan
melalui cara-cara musyawarah (Liliweri, 2005).
Secara umum konflik (lokal) adalah kecekcokan, pertentangan,
perselisihan atau gesekan yang disebabkan oleh perbedaan kehendak dan
entitas sosial antara dua atau lebih pemain (actor) dalam suatu satuan wilayah
tertentu, dan deprivasi sosial (Alhumami, 2007; Amztutz, 1995; Salim, 2007;
dan Thohir, 2007). Secara spesifik Liliweri (2005) merumuskan delapan definisi
konflik yang bersifat lokal tersebut yaitu (1) bentuk pertentangan alamiah yang
dihasilkan individu atau kelompok karena terlibat dalam perbedaan sikap,
kepercayaan, nilai serta kebutuhan (need)] (2) hubungan pertentangan antara
dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran,
perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan; (3) pertentangan atau pertikaian
karena perbedaan dalam hal kebutuhan, nilai dan motivasi pelaku yang terlibat
di dalamnya; (4) proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif
mempengaruhi yang lain dengan kekerasan fisik; (5) pertentangan yang
bersifat fungsional, mendukung tujuan kelompok dan mempengaruhi tampilan,
namun disfungsional karena meniadakan tampilan kelompok yang sudah ada;
(6) proses mendapatkan monopoli, kekuasaan, pemilikan, dengan
menyingkirkan atau melemahkan pesaing; (7) bentuk perlawanan yang
melibatkan dua pihak secara antagonis; dan (8) kekacauan rangsangan
kontradiktif diri individu.
Menilik kasus yang diangkat dalam Taskap ini, separatisme yang terjadi
di Papua berbasis lokal, menggunakan kekuatan rakyat untuk melawan aparat
pemerintah atau pemerintah (Sriyanto, 2007). Separatisme OPM yang terjadi di
Papua, menurut Kalla (2009) termasuk konflik vertikal. Ada dua faktor
penyebab yang mendasar ; Pertama, karena nilai, yaitu perbedaan rasa
percaya, keyakinan dan ideologi atas apa yang diperebutkan. Kedua, karena
sumber kekayaan alam yang tidak dikelola dan dinikmati oleh bangsa Papua
karena SDM orang Papua yang sangat rendah mengakibatkan produktivitas
rendah atau faktor kesenjangan ekonomi. Akibatnya OPM mengedepankan
ketidakadilan ekonomi sebagai alasan pemberontakan yang kemudian
berkembang menjadi separatisme dan perbedaan politik dengan tujuan untuk
memisahkan diri dari NKRI (Kalla, 2009). Ketika faham separatisme dapat
22

