Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2
Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama
baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam
kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator,
yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yang memiliki
kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai
ketunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat
budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam NKRI yang
berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh
lr. Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham
sinkretisme, mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari
unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
Dengan pemahaman terhadap sesanti Bhinneka Tunggal Ika
dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut secara konsisten,
diharapkan akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib,
teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
b. Sikap Elit Politik
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif;
hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat,
dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan
sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang
berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain,
memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak
sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas
dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan
kehendaknya pada golongan minoritas.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalisms yang hanya
menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh
sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati,
saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian
maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan. Bhinneka Tunggal
58

