Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
34
itu, ekses politik dari pembangunan kembali NAD pasca tsunami dan bencana
gempa bumi menjadi salah satu ekses negatif bagi eksistensi NKRI di wilayah
Serambih Mekah tersebut.
Kedua, harus dipahami bahwa keberadaan partai politik lokal merupakan
satu terobosan yang signifikan bagi upaya memperkuat partisipasi dan
demokrasi. Keberadaan partai lokal menjadi jembatan politik antara masyarakat
dengan elit politik, yang selama ini dapat dikatakan senjang. Keberadaan partai
lokal pun bukan sesuatu yang baru di Indonesia, setidaknya pada Pemilu tahun
1955 tercatat sedikitnya ada enam partai politik lokal yang berpartisipasi, yakni:
Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Tani
Indonesia, Gerakan Banteng, dan Partai Persatuan Daya. Menariknya, ada dari
partai politik lokal tersebut mendapatkan kursi di parlemen nasional, yakni Partai
Persatuan Daya, Ini berarti bahwa langkah untuk mendorong perkembangan
partai politik lokal di banyak daerah merupakan langkah strategis bagi penguatan
eksistensi daerah terhadap pusat, yang ujungnya akan makin membangun kaitan
tali-temali politik yang berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan
daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adanya poltik lokal di Aceh
terdapat dua penafsiran yaitu kemungkinan akan menjadi kendaraan politik eks
GAM, yang sejak awal tidak benar-benar tuntas untuk menjadi bagian dari NKRI
dan bisa jadi merupakan satu terobosan bagi upaya memperkuat partisipasi dan
Demokrasi masyarakat Aceh dalam sistem perpolitikan nasional secara
keseluruhan.
d. Penegakkan Hukum Jinayat Di NAD Belum Optimal Dan Menemui
Berbagai Kendala Baik Instrumen Maupun Peraturan Dan Regulasi
Aturannya. Jauh sebelum era reformasi, tepatnya pada masa perang
kemerdekaan tuntutan penegakkan syariat Islam di Aceh telah dilaksanakan, di
era reformasi, tuntutan pelaksanaan Syariat tidaklah surut, bahkan meningkat
dan mendapat sambutan dari DPR. Atas usul inisiatif anggota DPR disahkanlah
UU Nomor 44 Tahun 1999 yang isinya merupakan peraturan pelaksana untuk
keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada tahun 1959 yang lalu. Setelah
ini, atas usul inisiatif anggota DPR kembali disahkan UU Nomor 18 tahun 2001

