Page 17 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 17
sepanjang perbatasan sehingga perekonomiannya berkembang. Kondisi
ini kontras dengan perbatasan di sisi Indonesia.
Sementara itu, daya jangkau siaran radio maupun televisi nasional
yang dipancarluaskan dari Jakarta sangat lemah di perbatasan. Begitu
juga media cetak surat kabar, atau majalah, sulit menjangkau daerah
perbatasan. Keadaan ini membuat masyarakat di sana mengkonsumsi
informasi media massa negeri tetangga. Secara tidak sadar, ini
menyebabkan lunturnya nasionalisme masyarakat Indonesia di daerah
perbatasan.
Situasinya tidak berbeda jauh dengan perbatasan darat RI-Timor
Leste, dan RI-Papua Nugini. Di kedua perbatasan itu, kehidupan
masyarakat RI tidak lebih baik dibanding masyarakat negeri sebelah,
meskipun pendapatan perkapita Indonesia lebih besar daripada Papua
Nugini (1.465 dolar AS), dan Timor Leste (800 dolar AS).
Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan RI-Timor Leste
setiap malam hidup dalam kegelapan karena penerangannya hanya
lampo teplok, sementara tetangganya di Timor Leste menggunakan
listrik. Sarana dan prasaranan pendidikan sulit dijangkau anak-anak
desa karena lokasinya jauh. Tenaga kesehatan terbatas, dan budaya
hidup sehat masyarakat rendah. Menurut Gubernur NTT, Frans Lebu
Raya (BNPP, 2011), kondisi seperti itu bila dibiarkan dapat menjadi
ancaman kedaulatan bangsa.
Secara umum, kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah
perbatasan dari sisi Indonesia masih memprihatinkan. Kondisi itu
kontras bila dibandingkan dengan masyarakat di seberang perbatasan
yang sejahtera. "Di kepala kami Garuda, tetapi perut kami Malaysia,"
kata seorang warga yang tinggal di perbatasan.6 Pernyataan itu
merujuk pada kenyataan, masyarakat Indonesia di perbatasan lebih
4 Disampaikan seorang warga di perbatasan sebagaim ana dikutip Deputi Bidang Pengelolaan Batas Negara
Wilayah Darat, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Triyono Budi Sasongko, wawancara dengan
Penulis di Kantor B N P P , Jakarta, 27 Agustus 2012.
5

