Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
75
memungut pajak sebesar 1% dan omzet kurang dari Rp 4,8
milliar per tahun terhadap WP. Padahal seharusnya perlu dikaji
lebih dan mendetail mengenai arti omzet dalam dunia
perdagangan, karena omzet tidak mewakili profit, omzet juga
tidak mencerminkan laba, dan akhimya omzet bukan rujukan
penghasilan. Pemberlakuan PP ini juga masih menyisakan tiga
persoalan mendasar. Pertama, belum ada aturan pelaksanaan
mulai dari peraturan Menteri Keuangan yang ditindaklanjuti
Dirjen Pajak, padahal PP ini sudah mulai berlaku. Masalah
kedua, dalam PP itu disebutkan bahwa UMKM yang dikenakan
PPH adalah yang beromzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per
tahun. Sedangkan, dalam peraturan yang menyangkut Pajak
Pertambahan Nilai, yang dimaksud pengusaha kecil adalah
pengusaha yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp 600 juta
setahun. Persoalan ketiga adalah, PP ini bisa merangsang orang
untuk merekayasa omzet penjualannya agar tidak terkena
pengaturan pajak biasa. Oleh karena itulah, revisi perlu segera
dilakukan dan patut dicermati bahwa kebijakan pemerintah untuk
mengeluarkan beragam regulasi harus dipertimbangkan karena
justru menimbulkan tumpang-tindih dan membebani UMKM yang
merupakan fondasi pembangunan ekonomi kerakyatan.
3) DPR bersama Kemenkumham, Kemenkop & UKM, serta
para pakar dan akademisi melakukan pengkajian dengan
menyusun daftar inventarisasi masalah dan kajian naskah
akademik sebelum mengajukan usul suatu RUU atau peraturan
yang terkait dengan pembangunan ekonomi kerakyatan. Proses
ini merupakan bagian integral yang harus dijalani lebih dulu
sebelum menetapkan suatu produk peraturan perundang-
undangan yang akan berimplikasi luas terhadap tatanan ekonomi
nasional. Kedudukan Naskah Akademik masih dianggap hanya

