Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
22
jabatan dalam organisasi negara yang bersifat kekuasaan tertinggi atau
urusan-urusan negara berada pada pemerintah pusat.7
Dari filosofi bentuk negara, terdapat dua pola dasar pembagian
kekuasaan dan kewenangan, pertama, pola general competence atau
open and arrangement, yang dinamakan otonomi luas, yakni urusan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersifat limitatif dan sisanya
(urusan residual) menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di negara
federal, limitasi tersebut eksplisit di dalam konstitusi, sementara di
negara kesatuan, tercantum dalam undang-undang atau aturan hukum
yang lebih rendah. Kedua, pola ultravires, atau otonomi terbatas adalah
urusan-urusan daerah yang ditentukan secara limitatif (terbatas) dan
sisanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pembatasan ini
dilakukan dalam suatu undang-undang.8
Terkait dengan Teori pembagian kewenangan dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah, menurut pendapat penulis, pada saat ini
telah berkembang varian baru, sehingga tidak terpaku pada pola
otonomi luas maupun otonomi terbatas. Di Indonesia tidak lagi dapat
diseragamkan bahwa penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah
semuanya sama, yaitu dengan otonomi luas. Untuk Aceh dan Papua
dikenal adanya desentralisasi asimetrik, dimana kedua daerah tersebut
memiliki otonomi khusus. Pemerintahan Aceh misalnya juga memiliki
kewenangan yang sebenarnya hanya dimiliki oleh pusat. Hal ini tidak
akan berhenti sampai di sini, karena perkembangan di Indonesia akan
memunculkan otonomi-otonomi dengan varian lain yang berbeda satu
sama lain. Misalnya, dengan memperhatikan karakteristik khusus
wilayah kepupauan dan perbatasan atau dengan penitikberatan
otonomi pada tingkat kecamatan demi efektifitas pemerintahan dan
memperpendek rentang kendali. Dengan demikian, Indonesia akan
menjadi satu negara yang mempunyai sistem otonomi yang berbeda
dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah, namun
tetap dengan tujuan akhir kesejahteraan bagi seluruh warga negara
dan terjaganya integrasi bangsa.
7 Ibid., hal. 50.
8 Ibid., hal. 53

