Page 16 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 16

30

menopang yakni intelektual dan militer. Militer dengan jiwa nasionalisme cukup berandil
dalam membersihkan pengaruh pengaruh primordial, dan kaum intelektual, dengan
konsep pembangunannya yang rasional, telah memberikan bobot yang tinggi pada
program pembangunan nasional.

         Hasil hasil karya birokrasi dalam pembangunan nasional dapat tercapai, karena
terciptanya stabilitas yang mantap, yang dianggap sebagai sine qua non kontinuitas
pembangunan. Tingginya kehendak untuk mencapai akselerasi hasil pembangunan,
ternyata tidak diiringi oleh potensi swasta yang solid, sehingga menyebabkan perlunya
intervensi pemerintah yang kemudian menyusup hampir kesemua sektor kehidupan
masyarakat. Disamping itu, latar belakang sosial budaya masyarakat belum begitu
kondusif dalam mendorong tumbuhnya budaya birokrasi yang bersih dan efisien.

        Adapun nilai budaya yang telah berpengaruh terhadap birokrasi kita antara lain
(lihat Muhajir Darwin 199, Muhaimim 1980) : Pertama Budaya formalisme yang
melahirkan birokrasi yang mengutamakan simbol simbol dan seremonial seremonial
ketimbang produktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua Budaya
feodalisme dan paternalisme yang melahirkan birokrasi dengan orientasi status dan
senioritas lebih menonjol, ketimbang- profesionalisme dan kreativitas. Ketiga Jiwa
kekeluargaan yang menghasilkan nepotisme dalam pemberian pelayanan publik.
Keempat Budaya upeti dan kaburnya demarkasi dinas-pribadi, yang pada gilirannya
melahirkan korupsi dan penyalahgunaan harta kekayaan negara.

         Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi
birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah serius
dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003
tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin
Struktur Kaya fungsi).Tujuannya jelas jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di
lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU
Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU
Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004
yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol
Unwar,2006). Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin
meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep
   11   12   13   14   15   16   17   18