Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11
41
aparat di perbatasan yang minim serta kurangnya sumber daya manusia untuk
melakukan pengawasan38. Belakangan, juga muncul persoalan dengan ketiadaan
aturan khusus yang mengatur masalah penyelundupan manusia ini.
Sebagai respons, maka, seperti telah disebutkan di atas, Indonesia
meratifikasi Konvensi Palermo dengan cara mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun
2009 tengan Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-/Bangsa Menentang
Tindak Pidana Trans-nasional yang Terorganisasi dan UU Nomor 15 Tahun 2009
tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat,
Laut dan Udara. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya bersifat
kriminalisasi. Artinya, suatu perilaku yang sebelumnya merupakan perilaku bebas,
namun kemudian dianggap dan diperlakukan sebagai suatu perbuatan pidana
dimana membawa sanksi bagi pelakunya apabila dilakukan. Namun demikian,
ditegaskan oleh UNODC39, bahwa terhadap pihak yang diselundupkan tidaklah
dikriminalisasikan, demikian pula tidak mengkriminalisasi migran yang tidak
menyelundupkan orang lain atau migran yang dipaksa untuk pergi. Dalam perspektif
tersebut, mereka dapat disebut sebagai korban40.
Mengapa negara meratifikasi konvensi tersebut karena, menurut perspektif
penyelundupan manusia, Indonesia diperkirakan akan semakin menarik di mata
migran ilegal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa letak geografis Indonesia sangat
strategis untuk melintas ke Australia, ditambah lagi dengan kelemahan bidang
keamanan laut dan pengawasan di perbatasan darat. Pernah pula tersebar info
bahwa UNHCR Kantor Indoneisa melakukan RSD (Refugee Status Determination
atau penentuan status pengungsi) lebih cepat dari UNHCR Malaysia41. Hal ini konon
menjadikan migran ilegal lebih memilih Indonesia ketimbang Malaysia. Terakhir, kita
38 Sejauh ini terdapat 14 titik atau lokasi pendaratan penyelundupan manusia, terserak mulai dari
Kuala Ledong di Sumatera Utara hingga Kupang di Nusa Tenggara Timur.
39 Sebastian Baumeister, “Short Overview of Provisions on Protection and Assistance in the Migrant
Smuggling Protocol”, presentation, Workshop on Migrant Smuggling Challenges and Responses in
Indonesia, 5-6 October 2010, UNODC Regional Center for East Asia and the Pacific
40 Perhatikan bahwa definisi korban dalam hal ini berbeda dengan definisi korban menurut Pasal 1
UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dimana
korban adalah seseorang yang memiliki penderitaan psikis, mental, fisik,seksual, ekonomi/atau sosial
yang diakibatkan oleh sebuah kejahatan
41 Padahal, jumlah migran ilegal berstatus pencari suaka dan pengungsi maupun yang telah ditolak
dan belum terdaftar di Indonesia mencapai 80 ribu orang. Sedang Indonesia hanya kurang dari 3 ribu
orang. Sumber: Ditjen Imigrasi Kemkumham RI

