Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14

28

    Polisi cenderung melihat dirinya hanya sebagai pemegang otoritas yang
    memandang perlu berlaku represif dalam menjalankan tugas dan
    wewenangnya. Walaupun prinsip-prinsip "melayani dan melindungi" (to serve
    and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis,
   sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian.

             Kondisi tersebut diatas tampak semakin nyata ketika Polri merupakan
   bagian integral ABRI dan Polisi merupakan prajurit ABRI yang dalam
   pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan
   militeristik. Perpolisian semacam itu juga ditandai antara lain oleh pelaksanaan
  tugas kepolisian, utamanya penegakan hukum, yang bersifat otoriter, kaku,
  keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat, termasuk
  rasa keadilan.

            Di sisi lain pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari, lebih
  mengedepankan penegakan hukum untuk menanggulangi tindak kriminal.
  Berdasarkan TAP MPR Nomor ll/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan
  Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
  Swakarsa, Polri dibebani tugas melakukan pembinaan Kamtibmas yang
 diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai ujung tombak terdepan. Pendekatan
 demikian memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai obyek dan
 polisi sebagai subjek yang "serba lebih” sehingga dianggap figur yang mampu
 menangani dan menyelesaikan segala permasalahan Kamtibmas yang
 dihadapi masyarakat.

           Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat cenderung semakin
 “jenuh" dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokratis, resmi,
formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik.
Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-
pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah daripada
sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan
hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian
dengan mekanisme informal dipandang lebih efektif daripada proses sistem
peradilan pidana formal yang acapkali kurang memberikan peranan yang
berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang
dideritanya.
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18