Page 3 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 3
67
Sebagai bagian dari penjabaran butir Sila Keempat Pancasila,
kalimat “musyawarah untuk mencapai mufakat” bukanlah hal yang
baru, bahkan sejak sekolah dasarpun sudah diajarkan, namun
berdasarkan pengamatan penulis, kita seringkali melupakan atau
mengabaikannya sebagai suatu cara yang justru paling ideal bagi
manusia yang beradab dalam berkonflik. Pada masa lalu, kita
senantiasa mendengar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) sebagaimana dimaksud Ketetapan MPR Nomor
ll/MPR/1978, yang juga dikenal dengan “Ekaprasetia Pancakarsa”.
Secara harfiah “eka" berarti tunggal, “prasetia" berarti janji atau tekad,
“panca* berarti lima dan “karsa” berarti kehendak yang kuat. Secara
keseluruhan dapat diartikan sebagai suatu tekad yang tunggal dan
kehendak yang kuat untuk melaksanakan kelima Sila dari Pancasila.52
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ketetapan itu, namun
sejarah telah mencatat bahwa TAP MPR Nomor ll/MPR/1978 tersebut
telah dicabut dan dinyatakan tidak lagi memiliki keabsahannya dengan
diterbitkannya Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Tentang
Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor ll/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan
Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Adapun alasan
pencabutan yang tersurat dalam TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998
adalah karena pertimbangan, bahwa materi muatan dan
pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan
bemegara. Terlepas dari ada tidaknya kepentingan politik atau
pelaksanaan Ekaprasetia Pancakarsa yang diselewengkan, secara
materi muatan sesungguhnya bila dicermati satu persatu dari 36 butir
petunjuk pengamalan kelima Sila dari Pancasila sebagai penjabaran
“Ekaprasetia Pancakarsa”, tidak ada satupun yang bertentangan atau
berseberangan dengan pemahaman dan penghayatan Pancasila
sebagai suatu pandangan atau falsafah hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bemegara.
52 B. Arief Sidharta, Op.cit. H.32

