Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14
82
dan aparatur pemerintah dipandang justru bertindak lambat,
kurang responsif dalam melokalisir konflik dan dianggap
melakukan pembiaran (ignorance) karena berbagai faktor,
seperti keterbatasan personil dan sarana, aspirasi dan
dominasi kelompok mayoritas dan kegagapan dalam
menjalankan S.O.P. Kondisi ini tentu mengakibatkan krisis
kepercayaan (distrust) terhadap aparat penegak hukum,
karena di saat yang sama pelanggaran hukum pidana telah
nyata terbukti dilakukan di hadapan aparat. Oleh karena itu,
proses optimalisasi penegakan hukum harus dibarengi
dengan peningkatan kualitas SDM, ketersediaan sarana
prasarana, serta komitmen terhadap rasa keadilan yang
mengedepankan integritas moral.
3) Pemerintah dan DPR memperbaiki kinerja jajaran
intelijen (BIN, BAIS dan aparatur intelijen di TNI, Polri dan
Kejaksaan) melalui capacity building baik dari aspek SDM
maupun secara kelembagaan, sehingga performa intelijen
nasional dapat diandalkan untuk mencegah munculnya
TAHG yang dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas di
tingkat daerah maupun nasional. Jajaran intelijen akhir-akhir
ini sering dikritisi oleh berbagai pihak karena dianggap belum
cukup efektif dalam melakukan langkah-langkah intersepsi,
prediksi, deteksi dini dan cegah dini, sehingga intensitas
konflik komunal semakin meningkat. Dari aspek SDM,
proses rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan bagi
aparatur intelijen hendaklah dilakukan secara selektif dengan
kualifikasi persyaratan yang diperketat, sehingga dapat
dihasilkan SDM yang profesional dan responsif. Diperlukan
pula proses training dan simulasi, sehingga para aparat
memperoleh berbagai muatan materi, baik yang bersifat teori
maupun praktik, serta diuji secara riil di lapangan, dilakukan
penilaian, dan ditentukan berbagai kriteria sehingga yang