Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
25
domestik dapat bergerak naik ataupun turun tergantung dari naik turunnya harga
internasional dan nilai tukar mata uang asing. Disadari atau tidak, kebijakan
tersebut justru merugikan petani sebagai produsen dan tidak berpihak pada usaha
untuk mencapai ketahanan pangan nasional.
Berbeda dengan yang diungkap oleh Sigit Darmawan (2008) dalam paparan
singkatnya mengenai refleksi atas kasus Malari21 dan hubungannya dengan
kemandirian bangsa mengungkapkan keprihatinannya mengenai ketergantungan
Indonesia pada pemberian hutang dari luar negeri, la kemudian membandingkan
Indonesia dengan Bolivia, di mana presidennya yang pada saat itu dijabat oleh
Eva Morales, gencar menasionalisasi perusahaan-perusahaan strategis dalam
pengelolaan sumber daya alamnya. Eva Morales meminta korporasi global yang
selama ini mengeksploitasi sumber daya alam bolivia untuk berperilaku dan
bertindak sebagai “mitra” dan bukan “tuan”. Lebih lanjut, dalam tulisan ini juga
termuat refleksi singkat atas buah pikiran Bung Hatta 81 tahun silam. Bung Hatta
pernah memperkenalkan ekonomi rakyat dalam tulisannya di Daulat Rakyat
(1931) dan dielaborasi konsepnya dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 33.
Kemandirian ekonomi bangsa harus didasarkan kepada pemberdayaan ekonomi
rakyat, yang intinya ada 2 hal, yaitu: pertama, penghapusan sistim monopoli dan;
kedua, pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah kepada rakyat. Jika negara
ingin membedayakan ekonomi para petani, maka kebijakan pemerintah harus
memihak kepada petani. Kedua hal ini adalah kunci dalam membangun ekonomi
rakyat yang mandiri, dan tangguh. Pustaka ini sangat penting diangkat dalam
rangka penulisan Taskap ini, karena dalam pandangan Bung Hatta inilah yang
sebenarnya menjadi fondasi bagi langkah kemajuan bangsa untuk
mengimplementasikan kewaspadaan nasional bangsa demi mewujudkan
kemandirian bangsa.
Hal ini senada dengan pandangan Wahju Qamara Mugnisjah dalam buku
yang berjudul “National Food System and Paradigm on Food Resilience for The
Indonesian” (Sistem Pangan Nasional dan Paradigma Ketahanan Pangan Bangsa
Indonesia), 19 Juni 2007, menyatakan bahwa “sistem pangan nasional harus
21 Malari (Lim a Belas Januari) adalah sebutan untuk m engenang peristiwa kerusuhan di ibukota yang terjadi p a d a 15
Januari 1974. Peristiwa ini m em akan korban ekonom i dan politik. Tercatat 9 surat kabar di cabut S IU P nya, korban te w as 11
orang, 2 0 0 luka-luka, dan lebih dari 8 0 0 orang ditangkap. Peristiwa Malari juga m engakibatkan korban politik ketika
Panglima Kom ando O perasi K eam anan dan Ketertiban (Pangkopkantib) Soem itro dicopot dari jabatannya. Peristiw a itu
sendiri dipicu oleh serangkaian dem o m ahasisw a m enentang m asuknya modal asing untuk m em biayai pe m bangu nan
Indonesia. Kritik yang muncul saat itu adalah bahw a m odal asing - apakah dalam bentuk investasi langsung atau bantuan
publik internasional- berdam pak kepada: ketergantungan dan alienasi negara kepada pihak asing (D arm aw an, 2 0 0 8 ).