Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14
28
ketidakseimbangan data yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah.
Adanya ketidakterpaduan dalam penanganan konflik antara aparatur
pemerintah pusat dan daerah mengakibatkan penanganan konflik sosial
masih bersifat operasional reaktif, bersifat seremonial, bersifat ego
sektoral dan penanganannya masih bersifat militeristik atau represif
(penegakan hukum) yang telah banyak menelan korban baik meninggal
dunia maupun mengalami cidera fisik. Penanganan-penanganan konflik
sosial yang demikian tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia saat
ini. Penjelasan dari penanganan konflik sosial yang terjadi saat ini
adalah:
a. Penanganan Konflik Sosial Bersifat Operasional Reaktif
Sebelum Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial disahkan, sebagian besar peraturan
terkait penanganan konflik sosial masih bersifat operasional reaktif
dan tanpa satu payung hukum yang kuat. Langkah-langkah yang
diambil hanya didasarkan pada kebijakan lembaga eksekutif
(pemerintah), baik pemerintah pusat maupun daerah. Namun
dalam pelaksanaannya ada keraguan masing-masing institusi
karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang
berbeda. Kondisi ini menggambarkan suatu peraturan perundang-
undangan yang saling bertentangan, tidak konsisten, tidak
harmonis, dan tidak sinkron, baik secara vertikal maupun
horisontal.
Demikian juga lembaga-lembaga lain dalam menangani
konflik, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) belum mendapatkan peran
yang signifikan dalam penanganan konflik melalui bentuk regulasi
yang menjadi kewenangannya maupun melalui kebijakan anggaran
melalui sistem APBN dan ABPD. Sebagian peraturan dikeluarkan
dalam keputusan Presiden, Gubernur, dan Bupati atau Wali Kota.
Sementara pada tahap proses penegakan hukum, kapasitas
anggota Polri, Intelijen Negara dan Jaksa dalam melacak,