Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14
54
21. Penanganan Konflik Sosial Secara Konstruktif
Peningkatan kuantitas dan kualitas konflik serta adanya konflik
yang berulang yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia telah
menyadarkan pemerintah bahwa penanganan konflik tidak dapat
dilakukan oleh salah satu instansi saja yaitu Polri. Keseriusan
pemerintah dalam menangani konflik ditandai dengan disyahkannya
Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosiai dan Instruksi Piesiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013
Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Melalui
kedua peraturan ini maka penanganan konflik yang masih bersifat
parsial, tidak menyentuh akar masalah, serta penanganannya cenderung
militeristik dan represif mulai ditinggalkan.
Undang-undang Penanganan Konflik Sosial mengakomodir tiga
kerangka regulasi yang saling kait mengkait. Kerangka pertama,
kerangka regulasi dalam upaya pencegahan konflik seperti regulasi
mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap
konflik dan upaya pencegahan konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi
kegiatan penanganan konflik pada saat terjadi konflik yang meliputi
upaya penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya korban
manusia ataupun harta benda. Ketiga, kerangka regulasi bagi
penanganan pasca konflik, yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas
penyelesaian sengketa atau proses hukum serta kegiatan pemulihan,
reintegrasi, dan rehabilitasi.
a. Penanganan Konflik Sosial yang Komprehensif
Sebelum disyahkannya Undang-undang No. 7 tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, penanganan konflik sosial
masih bersifat parsial sehingga terkesan reaktif dan tidak terpadu.
Hal ini terjadi karena dasar hukum yang digunakan masing-masing
instansi dalam menangani konflik sosial berbeda. Hal lain yang
menjadi masalah dalam penanganan konflik sebelum Undang-
undang Penanganan Konflik Sosial disyahkan adalah pelibatan