Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
45
Daerah untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan ketidak mampuan
menghitung agregat biaya yang dibutuhkan Daerah. Akibatnya Daerah
selalu merasa kekurangan dana dan memicu kecenderungan untuk
mencari sumber-sumber kewenangan barn yang dapat menghasilkan
penerimaan Daerah.
(3) . Kurangnya kepatuhan pada peraturan dan lemahnya penegakan
hukum. Walaupun sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur
kedudukan keuangan dari Kepala Daerah dan DPRD, sebagian besar dari
mereka tidak mengikuti pembiayaan yang ditetapkan oleh PP tersebut
karena menganggap bahwa otonomi berarti Daerah dapat melakukan apa
saja yang sesuai dengan keinginan mereka. Beberapa daerah bahkan
menolak kehadiran aparat pengawasan Pusat dengan alasan otonomi
Daerah memberikan kewenangan sepenuhnya pada Daerah dalam
pemanfaatan keuangan Daerah. Kurangnya kontrol dan supervisi adalah
sebagai penyebab lemahnya penegakan Peraturan.
(4) . Overhead c o s t Pemda yang tinggi. Sebagian besar dana Daerah
terserap untuk pembiayaan eksekutif dan legislatif Daerah sehingga
sedikit dana yang tersisa untuk kegiatan pelayanan. Salah satu
penyebab adalah dibebaskannya Daerah untuk menyusun SOTK-nya
sendiri-sendiri. Bagi Daerah yang memakai paradigma lama mem-
proliferasi kelembagaan ditambah dengan tingkat eselonisasi yang
meningkat satu tingkat serta meningkatnya sarana pendukung yang
diperlukan akan menyerap overhead cost yang tinggi.
(5) . Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD.
Rencana alokasi dana dalam APBD yang mencerminkan kebijakan Daerah
sering disusun secara kurang transparan dan kurang melibatkan partisipasi
masyarakat sehingga sering menimbulkan protes masyarakat. Hal ini
disebabkan belum adanya sistem akuntansi Daerah dan belum disusunnya
APBD berdasarkan anggaran berbasis kinerja.
(6) . Kurangnya kejelasan sistem pembiayaan melalui Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan. Walaupun dalam UU Rl No. 33/2004 mengatur