Page 17 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 17
Pada uraian berikut ini akan digambarkan berbagai kelemahan atas peran
pemimpin tingkat nasional baik yang memiliki kaitan langsung maupun tidak
langsung dengan upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas di Indonesia, antara
lain pada aspek:
a. Sistem rekruitmen/ kaderisasi pimpinan tingkat nasional.
Titik awal yang perlu dicermati dari semakin meluasnya praktik-praktik
penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin tingkat nasional adalah masih
lemahnya sistem rekruitmen pimpinan tingkat nasional. Sistem pengkaderan
pemimpin baik di tingkat partai-partai politik, ormas, dan birokrasi negara,
masih cenderung mengedepankan kedekatan-kedekatan personal (nepotisme),
ketenaran, kemampuan finansial, senioritas calon, dan bukan berdasarkan
kualitas calon. Bahkan dalam rekruitmen kader juga telah semakin
berkembang “politik dinasti” yang merekrut keluarganya untuk duduk di
jabatan-jabatan politis (kepala daerah, walikota/ bupati, DPRD) di suatu
daerah. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sistem rekruitmen/ kaderisasi
belum sepenuhnya berdasarkan merit sistem.
Penerapan sistem demokrasi pada era reformasi yang tidak diimbangi
peningkatan sistematis kesadaran politik {political awareness), sehingga
rekruitmen politik dimanipulasi menjadi demokrasi prosedural. Partisipasi
politik bukan mumi berasal dari kesadaran politik masyarakat, tetapi hasil
dari mobilisasi politik yang dilakukan elite-elite politik atau tokoh-tokoh
'masyarakat melalui money politics dengan orientasi pada keuntungan
ekonomi atau mendapatkan kekuasaan. Pemimpin tingkat nasional yang
mencalonkan diri temyata masih memiliki kesadaran politik sempit dan
sesaat, yang akhimya menghasilkan pemimpin yang lebih mencari
keuntungan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Disisi lain praktik-praktik money politic juga berakibat pada sikap-
sikap calon yang “siap menang tapi tidak siap kalah” dan cenderung
melakukan pemaksakan kehendak, yang berakibat pada merebaknya kasus-
kasus konflik sosial-politik dalam penyelenggaraan pemilukada, seperti
konflik komunal antar pendukung calon kepala daerah, penolakan terhadap
31