Page 2 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 2

4

        Di Indonesia, perkembangan penanganan kejahatan internasional
 (pelanggaran HAM) dimulai sejak era reformasi dengan Undang-Undang
 Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan
 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
 Manusia (UU Pengadilan HAM). UU Pengadilan HAM mengadopsi dua
 kejahatan internasional dalam Statuta ICC, yakni genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan beserta unsur-unsurnya. Beberapa pelanggaran
HAM yang telah diperiksa dan diadili berdasarkan UU Pengadilan HAM
dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah kasus Timor Timur
Pasca Jajak Pendapat, kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura.

       Pengadilan HAM Ad Hoc adalah kasus Timor Timur Pasca Jajak
Pendapat “dianggap” sebagai respon reaktif untuk membendung inisiatif
pembentukan ICC Ad Hoc. Dalam menghadapi MPI (ICC), sangat
dikhawatirkan praktik penegakan hukum oleh Pengadilan HAM Indonesia
yang hampir keseluruhan berupa putusan bebas yang tidak mewujudkan
akuntabilitas. Telah muncul kekecewaan, kritikan, ’’gugatan” dan protes
dari berbagai pihak/kalangan terhadap putusan-putusan Pengadilan HAM
atas berbagai kejahatan internasional (pelanggaran HAM) tersebut.
Berdasarkan praktik pembentukan ICC Ad Hoc dan ketentuan Pasal 17
Statuta ICC, ICC akan mengambil alih yurisdiksi kriminal pengadilan
nasional jika pengadilan nasional tidak ada keinginan (unwilling atau lack
of political will) atau tidak ada kemampuan (unable atau caused by totally
colapse government) untuk menyelenggarakan peradilan yang
independen dan mandiri dalam memeriksa dan mengadili kejahatan
internasional, (pelanggaran HAM).

       Dalam menghadapi MPI (ICC) permanen pada konteks kekinian,
persoalan utama bagi Indonesia adalah tentang urgensi ratifikasi Statuta
ICC. Dalam Piagam PBB tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan setiap
negara anggota PBB untuk mengadopsi dan meratifikasi suatu perjanjian
internasional. Dalam berbagai pertemuan internasional yang membahas
Statuta ICC, terlihat bahwa tentang aspek eksistensi atau legalitas (status
   1   2   3   4   5   6   7