Page 3 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 3

5

 hukum) Statuta ICC, hal yang mendapat pembahasan serius adalah
 mengenai pemberlakuan/penerapan yurisdiksi ICC ke dalam yurisdiksi
 pengadilan nasional. Sesuai Preamble Statuta ICC, diputuskan bahwa
 ICC adalah pelengkap yurisdiksi pengadilan nasional menurut asas
 komplementaritas.3

        Statuta ICC yang belum atau tidak diratifikasi Indonesia,
 sesungguhnya tidaklah menghalangi pemberlakuan atau penerapan
 yurisdiksi ICC permanen tersebut untuk memeriksa dan mengadili
 kejahatan internasional (pelanggaran HAM) yang akan terjadi di Indonesia
 atau merupakan yurisdiksi pengadilan Indonesia. Terlebih lagi, saat
sekarang terdapat perkembangan mekanisme atau prosedur penanganan
perkara kejahatan internasional (pelanggaran HAM), dimana berdasarkan
Statuta ICC, lembaga penyidikan dan penuntutan tidak dipisahkan dan
dilaksanakan oleh prosekutor. Prosekutor (in pro prio motu) melakukan
penyidikan berdasarkan informasi dari: negara anggota, DK PBB dan atas
temuan sendiri (ex officio). DK PBB juga dapat meminta kepada ICC untuk
memeriksa/mengadili pelanggaran HAM di suatu negara, meskipun
negara tersebut belum menjadi negara pihak (state party).4

       Ratifikasi Statuta ICC dan pembentukan MPI (ICC) yang bersifat Ad
Hoc maupun permanen untuk menangani kejahatan internasional
(pelanggaran HAM) bukan masalah yuridis semata-mata (legally heavy)
melainkan juga berkaitan dengan masalah politik (political heavy) secara
luas. Selanjutnya akan mempengaruhi upaya pemantapan politik nasional
dalam rangka ketahanan nasional, karena menimbulkan implikasi yang
sangat serius terhadap sistem kehidupan nasional, seperti

         3 Preamble Statuta ICC, Paragraf 10: “Emphasizing that the International Criminal
Court established under this Statute shall be complementary to national criminal
jurisdiction”.

         4 Iza Fadri, Prospek Hukum Pidana Internasional: International Criminal Court
(ICC), Jakarta: STIK-PTIK , Januari 2013, him. 8.
   1   2   3   4   5   6   7   8