Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4
18
Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan jaman
Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh
dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-
prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu
mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-
laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan
bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan
menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya
luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Dengan perhitungan 196
garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar,
terciptalah garis maya batas mengelilingi kepulauan Indonesia
sepanjang 8.069,8 mil laut. Setelah melalui perjuangan yang
panjang, deklarasi ini pada Tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan
ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-lll Tahun 1982
(United Nations Convention On The Law o f The Sea/UNCLOS
1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 bahwa
Indonesia adalah negara kepulauan.
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi
Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982. Dalam
mengimplementasikan geopolitik Indonesia yang berorientasi
kemaritiman, yang harus diperhatikan secara serius adalah
pengaturan rejim hukum Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landas
kontinen. Rejim ZEE memberi hak kepada negara pantai untuk
mengolah dan memanfaatkan sumber kekayaan alam hayati pada
kolom air di zone tersebut dan manfaat sumber daya mineral dan
gas di dalam dasar laut pada zone landas kontinen. Disini PBB
telah mengakomodasi Konsep Wawasan Nusantara ke dalam