Page 3 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 3
29
nomor 44 tahun 1978 (Tentang Dakwah agama dan Kuliah Subuh)
jelas dianggap membatasi ruang gerak amar ma’ruf nahi mungkar.
Demikian pula bagi ummat Kristen Keputusan Bersama Menteri
Agama Nomor 70 dan 77 tahun 1978 (Tentang Penyiaran agama dan
bantuan asing) dirasakan membatasi dan merugikan aktivitas misi
Kristen di Indonesia. Pada saat keputusan tersebut diundangkan,
muncul berbagai reaksi keras dari tokoh-tokoh MAWI dan DGI
(Depag RI, 1979), tetapi nyatanya sampai sekarang peraturan-
peraturan tersebut belum dicabut atau direvisi47.
Namun dalam seluruh keterbatasan yang ada, baik soal efektifitas
forum-forum dialog dan peraturan-peraturan yang sampai sekarang masih
berlaku, harus diakui bahwa pemerintah telah mencoba untuk menunjukan tugas
dan tanggung-jawabnya. Oleh karena itu, ke depan, pemerintah harus
membangun komunikasi lebih intensif lagi dengan para pemuka agama, agar
tidak terjadi benturan-benturan di masyarakat. Keberadaan forum-forum yang
sudah dirintis oleh pemerintah, hendaknya tidak hanya menjadi forum bagi para
pemuka agama, tetapi juga bagi pemerintah untuk menyamakan persepsinya
dengan pemuka agama sebelum menyusun dan menerapkan sebuah kebijakan
public yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Juga diperlukan sebuah
pemahaman yang jelas tentang hubungan antara Negara dan agama. Hal ini
dimaksudkan agar pemerintah tidak mengintervensi urusan internal agama-
agama. Pemerintah hanya boleh mengintervensi agama-agama dalam urusan
public. Pemerintah hanya berkepentingan untuk menata dan mengatur hal-hal
public, agar ekspresi keagamaan tidak sampai mengganggu kepentingan
masyarakat dan membahayakan Negara. Oleh karena itu peraturan perundangan
yang diarahkan kepada agama-agama, hendaknya hanya mengatur soal ekspresi
Bdk. Ibid. Adanya reaksi dari tokoh agama terhadap kebijakan pemerintah tersebut disebabkan dalam
agama missionary (Islam, Kisten, Katolik dan Budha) penyebaran agama kepada seluruh ummat
manusia dinilai sebagai tugas suci, atau dikenal dengan istilah “mission sacre”. Adanya penilaian
semacam itu mendorong para pemeluknya untuk menyebarkan agama dan tidak merasa puas sebelum
menyampaikan agamanya itu kepada siapa saja yang belum mengetahuinya, dan di mana saja ada
kesempatan. Bdk. Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, Terjemahan oleh Nawawi Rambe, Jakarta:
Bulan-Bintang, 1957, hal. 27; bdk. Juga Samuel P. Huntington, Op. cit.

