Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
31
mereka untuk melakukan koreksi terhadap persoalan-persoalan di masyarakat51.
Sepak-terjang beberapa Ormas keagamaan yang seringkah menciptakan
kekacauan dan rasa tidak nyaman bagi masyarakat, juga menjadi sorotan public
belakangan ini52. Propoganda stereotip dan tindakan main hakim sendiri
semakin memperbanyak catatan kelam kehidupan beragama di Indonesia.
Kejadian paling menyedihkan adalah ketika teijadi bencana Gunung Merapi di
Yogyakarta. Saat itu datang sekelompok orang ke Gereja Katolik Ganjuran
untuk meminta 40 orang pengungsi yang beragama Islam dari Kecamatan
Cangkringan, pindah dari lokasi Gereja, karena dicurigai ada niat tersembunyi
dari Gereja Katolik untuk mengkatolikan para pengungsi tersebut. Catatan lain
adalah serangan terorganisir kepada Jemaat Ahmadya di Cikeusik, di Bandung,
Lombok (NTB) dan beberapa tempat lainnya53.
Meskipun fakta-fakta di atas tidak seluruhnya mewakili realitas
kehidupan beragama di Indonesia, tetapi hal tersebut cenderung menjadi kontra
produktif terhadap kewibawaan agama dan berdampak negative terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu para pemuka agama harus
berani mengatasi ego-ego komuniter, dan mau duduk bersama untuk
menemukan jalan keluar yang berterima bagi semua pihak. Prakarsa dialog
yang sudah beijalan selama ini, khususnya di antara tokoh-tokoh besar seperti
Aim. Abdulrahman Wahid, Aim. Rm. Mangun Widjaya, Aim. Nurcholis
Madjid, Prof. Safii Maarif, Rm. Magnisuseno, Pendeta Natan, dan lain-lain,
harus berkelanjutan. Tokoh-tokoh muda agama harus berkomitmen untuk
melanjutkan dialog-dialog serupa senara intensif.
Dalam konteks masyarakat plural agama seperti Indonesia, dialog
merupakan salah satu pintu masuk yang bisa memecahkan kebuntuan-
kebuntuan yang diakibatkan oleh konsep kebenaran eksklusif, sikap apriori dan
51Bdk. Ibid., hal. 63-68.
52Bdk. Ibid., hal. 29. Rapostase tentang FPL
53Lihat Ibid., hal. 17.

