Page 9 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 9
21
Studi awal (rawan, dkk (1997) banyak mengungkap kasus-kasus
alih fungsi lahan dari lahan peruntukan pertanian sawah menjadi non-
pertanian, yang kebanyakan terjadi di Jawa. Manurutnya, lahan
sawah di Jawa sebagian besar dialokasikan untuk aktifitas non-
pertanian. Hal ini diperkuat oleh studi sebelumnya, yaitu oleh
Sumaryanto, dkk. (1996), yang mengamati kecenderungan yang
sama. Manurut Sumaryanto dkk, tingginya laju alih fungsi lahan
sawah di Jawa disebabkan kedekatannya dengan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi jasa dan industri. Padahal di sisi lain, Jawa
adalah pulau tersubur yang menjadi produsen utama padi nasional.
Pertumbuhan ekonomi jasa dan industri lebih menarik
masyarakat untuk berpindah profesi dari petani menjadi buruh industri
atau membuka usaha baru di bidang jasa. Secara ekonomis hal
tersebut dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha
di bidang pertanian. Tak heran jika studi yang dilakukan oleh Winoto
(2005) mengungkapkan bahwa penyebab utama maraknya alih fungsi
lahan terutama disebabkan oleh adanya perubahan sistem
penguasaan tanah dan perubahan sistem ekonomi pertanian,
industrialisasi di perkotaan, serta oleh adanya faktor-faktor demografi.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa hal-hal yang terkait dengan
sistem ternyata sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan.
Sistem ini tentunya terkait dengan kebijakan umum pemerintah yang
selama ini belum berpihak kepada pertanian pangan. Oleh Karena itu
tak heran jika studi terkini yang dilakukan oleh Khudori (2012)
mengungkapkan bahwa dalam rentang waktu tahun 1992-2002, laju
alih fungsi lahan sebesar 110.000 ha/tahun. Laju tersebut meningkat
menjadi 145.000 ha/tahun pada tahun 2002-2006, dan meningkat lagi
menjadi 200.000 ha/tahun pada periode 20 07 -2010.25
25 Namun demikian, rilis dari Kementerian Pertanian (2012), Sebagaimana dikutip oleh
Metrotvnews.com, 18 Juli 2012, mengungkapkan bahwa laju alih fungsi lahan saat ini
adalah 100.000 ha per tahun, jauh dibawah prediksi Khudori (2012).

