Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8
20
c. Manajemen Kebijakan Alih Fungsi Lahan
Manurut Dunn (2000), dalam pembuatan kebijakan, terdapat
tigamodel proses, yaitu: model linier, rasional, atau common-sense.
Dalam konteks kebijakan alih fungsi lahan, perumusan TPKB
dihadapkan pada berbagai pilihan rasional yang memerlukan
penilaian dalam setiap tahapnya, sehingga dapat dirumuskan
kebijakan yang dapat menyiasati kekurangan (gap) yang terjadi
antara kebijakan dan implementasinya. Namun demikian, Sutton
(1999) mengungkapkan bahwa kebijakan justru kadang dilahirkan
oleh suatu proses yang tidak menentu (chaotic).
Kebijakan Alih Fungsi Lahan Guna Ketahanan Pangan dan
Kemandirian Bangsa memerlukan kecermatan dalam perumusannya
karena berada di tengah faktor penarik dan faktor pendorong.
Beberapa faktor pendorong alih fungsi lahan antara lain, kemiskinan
petani pemilik lahan, kepadatan penduduk, fragmentasi lahan,
kelangkaan lahan, harga lahan yang semakin melambung dan
pertumbuhan ekonomi sektor non-pertanian yang lebih cepat dan
lebih besar dalam memberikan keuntungan.
10. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai alih fungsi lahan sesungguhnya belum banyak
dilakukan. Beberapa pustaka menunjukkan bahwa studi mengenai
alih fungsi lahan mulai agak intensif pasca era tahun 1990, terutama
era pasca reformasi. Irawan dkk (1997; 2000; 2003; 2005; 2008) dari
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (Deptan) adalah
sebagian kecil diantara ahli yang banyak mengkaji mengenai alih
fungsi lahan kaitannya dengan ketahanan pangan. Kajian mengenai
alih fungsi lahan juga dilakukan oleh peneliti lain, seperti Sumaryanto,
dkk. (1994; 1996; 2005), Nasoetion (1994; 1996; 2003), Agus dkk
(2004; 2006), Isa (2006), Jamal (2001), Winoto (2005), Saragih
(2010), dan sebagainya.

