Page 15 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 15
31
a. Persepsi tentang Pepera. Perbedaan konstruksi politik tentang
sejarah dan status politik Papua antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis
Papua belum dinegosiasikan dan terus memperkuat stigmatisasi dan rasa saling
curiga satu sama lain. Pada sejumlah kasus, unsur ketidakpercayaan di antara unsur
negara dan unsur masyarakat sipil di Jakarta dan di Papua, bahkan di kalangan
orang asli Papua sendiri, cenderung menguat. Ketidakpercayaan dan bahkan
‘penolakan’ untuk mengakui otoritas Jakarta bersumber, diantaranya, pada
kontradiksi pemahaman sejarah dekolonisasi Papua dan ketegangan dalam
pemahaman identitas kepapuaan dan keindonesiaan36
Dalam hal sejarah, terdapat pertentangan pemahaman sejarah integrasi Papua
dengan Indonesia, terutama dalam kasus Perjanjian New York (New York
Agreement) tahun 1962 dan Pepera tahun 1969. Dalam hal identitas, terdapat
kontradiksi konstruksi dalam pemahaman keindonesiaan dan kepapuaan. Menurut
nasionalis Papua, orang Papua tidak dilibatkan dalam Perjanjian New York dan
proses Pepera berlangsung dengan tekanan dan kecurangan melalui pemilihan yang
tidak obyektif terhadap 1.025 anggota Perwakilan Rakyat Papua. Bagi pihak NKRI,
secara prinsip Papua sudah sah dan dengan sendirinya menjadi bagian dari NKRI
sejak Proklamasi Kemerdekaan Rl 1945 karena Papua adalah bagian dari
Nederlands Indie yakni dari Merauke hingga Sabang yang kemudian menjadi
wilayah Republik Indonesia.
Dalam banyak hal, kepapuaan ditekankan pada perbedaan ras Melanesia
dengan Melayu, antara Kristen dengan Islam, dan ciri fisik rambut keriting dan kulit
hitam dengan rambut lurus dan kulit sawo matang. Berbeda dengan kaum nasionalis
Papua, para nasionalis Indonesia umumnya berpandangan bahwa, sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945, perbedaan ras dan budaya Papua dengan Indonesia tidak
menjadi masalah karena Indonesia dibangun sebagai suatu negara-bangsa
supraetnis yang mengatasi perbedaan etnis dan ras. Sejauh ini pihak-pihak yang
berkonflik masih bersikeras pada pendirian masing-masing. Belum adanya titik temu
mengenai hal-hal tersebut menyebabkan situasi politik berada dalam status quo
dimana pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah terhalang untuk
berpartisipasi dalam politik formal dan pada saat yang sama kebijakan pemerintah
kekurangan legitimasi.83
38lbid, hal. 22.

