Page 7 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 7

33

      Dari Tabel 2.1. di atas tentang sepuluh catatan dari literatur
 perdagangan “tradisional” tampaknya sudah dapat memberi gambaran
 intuitif, sehingga memerlukan reaksi yang meliputi (Yunus Zain, 2011): (a)
 koreksi pemahaman untuk modifikasi model comparative advantage yang
 berdasarkan faktor endowment (SKA dan SDM serta kelembagaan dan
 infrastruktur) dengan pemahaman mengenai “esensi dayasaing”
(competitive advantage) berikut semua aspek strategik yang menyertainya;
(b) pertimbangan mengenai economic o f scale, klaster industri,
eksternalitas dan knowledge-based economy serta modal sosial dan
creative workers20 (Doeringer and Terkla, 1995; Porter, 1998; Ketels, 2003;
Westlund, 2006; Mansury, 2008); (c) pemahaman tentang pengaturan
perdagangan untuk industri manufaktur domestik yang menghadapi kondisi
pasar internasional yang oligopolistik atau persaingan monopolistik; dan (d)
pemahaman tentang esensi perilaku investasi dalam bentuk portfolio
maupun foreign direct investment (FDI). Lalu dengan suatu modifikasi yang
tepat, secara keseluruhan dapat diartikan mengenai pentingnya untuk
kembali menggunakan paradigma “persaingan tak sempuma” (imperfect
competition), akan memberikan sejumlah perspektif lain dalam mengamati
esensi liberalisasi ekonomi nasional dan peranan Indonesia terkait
keberadaan institusi seperti WTO, APEC, ACFTA dan menghadapi AEC-
2015 di masa akan datang.

    Kemudian tingkat integrasi ekonomi secara global dan regional selalu
dapat dibedakan berdasarkan empat tolok ukur (Zampetti, 2006; Yunus
Zain, 2011): (a) Cakupan jenis komoditi (products coverage) yang
disepakati; (b) Kebijakan yang mengatur persaingan dan perlindungan
(safequard measure)\ (c) Aturan mengenai negara asal barang (rules o f
origin); dan (d) Mekanisme penyelesaian perselisihan (disputes settlement).
Keempat ukuran inilah serta besarnya pasar dalam negeri yang kelak
sangat menentukan terciptanya volume arus perdagangan internasional
dari suatu kerjasama perdagangan internasional. Di lain pihak, liberalisasi

20 Porter (1998): a clusters is the geographic concentration of interconnected companies (and workers) in a
    location; Doeringer and Terkla (1935): a cluster is the geographical concentrations of industries (and workers)
    that gain performance advantages through co-location; Ketels (2003): groups of companies, institutions, and
    workers co-habiting in one location.
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12