Page 6 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 6
22
menghentikan proses tersebut hingga penyelesaian konflik dianggap
sebagai solusi yang penting bagi kedua belah pihak, dan akhirnya
mampu menurunkan eskalasi konflik yang ada (de-escalation).
Dengan demikian masing-masing pihak kemudian akan terdamaikan
dengan mediasi yang dilakukan oleh aktor pemimpin formal tersebut.
10. Tinjauan Pustaka
a. “Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan
dan Kekuasaan” oleh M. Alfan Alfian.19
Dalam buku ini disebutkan bahwa seseorang dapat menjadi
pemimpin tanpa harus menjadi manajer. Contohnya adalah para
pemimpin informal. Mereka tidak harus memiliki kecakapan manajerial
dan biasanya bekerja berdasarkan kharisma dan semangat. Di
Indonesia, banyak pemimpin informal hadir di tengah-tengah
masyarakat. Misalnya para pemimpin pesantren tradisional yang
belum dikelola dengan manajemen modern. Sang kyai biasanya
seorang generalis yang dianggap bisa dalam segala hal. la adalah
pemimpin yang sekaligus menjalankan fungsi manajemen. Namun
justru karena itulah ia juga dapat menjadi pemimpin tanpa
berdasarkan fungsi-fungsi manajemen.
b. “Peran Pemimpin Agama Dalam Praksis Resolusi Konflik”
oleh Robert B. Baowollo.20
Jurnal ini membahas mengenai peran tokoh agama dalam
pencegahan konflik. Bahasa populer yang dipakai untuk mencegah
konflik dengan kekerasan adalah menjaga harmoni, hubungan baik,
toleransi, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut berasal dari dunia
sosiologi dan menjelaskan obyek sosiologi serta makna-makna
seputar relasi antar kelompok masyarakat: harmoni dan toleransi;
19 M. Alfan Alfian. 2009. Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan
Kekuasaan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), him. 18-19.
http://peacindo.bloaspot.com/2010/07/peranH3emimpin-aaama-dalam-praksis.html
diakses pada 16 Juli 2014 pukul 22.18

