Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
Harga-harga kebutuhan pokok juga lebih murah di seberang,
daripada harga barang dalam negeri yang didatangkan dari Jawa.
Harga gula putih di wilayah Malaysia perkilogramnya adalah Rp9.000,
sementara untuk gula yang berasal dari Jawa bertiarga Rpl3.000.
Perbedaan tersebut terjadi karena tingginya ongkos distribusi barang
yang harus diangkut ke perbatasan karena jalan ke sana belum
memadai, atau bahkan tidak ada jalan (Kompas, 23 Agustus 2012).
Keadaan seperti disebutkan di atas dapat menimbulkan dampak
sikap apriori terhadap integrasi nasional yang bisa diidentifikasi dari
pernyataan "bawah sadar" masyarakat di perbatasan: "Kami 100
persen warga Indonesia dan mencintai Indonesia. Namun kalau urusan
memenuhi kebutuhan hidup, kami tak mau dipaksa tergantung dengan
barang Indonesia, kecuali nanti barang yang sama asal Indonesia lebih
lebih murah dibandingkan barang asal Malaysia," kata Sukarjo, veteran
sukarelawan Indonesia menghadapi PGRS-Paraku tahun 1968-1972
(Kompas, 23 Agustus 2012). ,
"Kami masyarakat perbatasan tidak mau pusing dengan asal
bahan makanan. Yang penting harga bahan makanannya murah, kami
bisa membelinya. Kalau harus membeli barang dari Indonesia, kami
tidak mampu karena harganya tidak terjangkau," kata Sukarjo.
Pernyataan Sukarjo, dan Zainul Arifin itu mewakili masyarakat
mayoritas yang diam, dan itu senada dengan penyataan masyarakat di
perbatasan darat Indonesia-Malaysia sebagaimana dikutip Deputi
Bidang Pengelolaan Batas Negara Budi Sasongko: "Di kepala kami
Garuda, tetapi perut kami Malaysia," (lihat Bab I).
Kondisi seperti ini merupakan "pisau bermata dua" dalam
pembinaan integrasi nasional, sebab yang dihadapi secara nyata oleh
masyarakat adalah kebutuhan hidup, bukan konsep integrasi yang tidak
terpikirkan oleh mereka yang rata-rata berpendidikan rendah. Keadaan
seperti inilah yang mendorong masyarakat di perbatasan secara sadar
dan terang-terangan berpaling ke Malaysia untuk memenuhi kebutuhan
29

