Page 6 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 6
20
merupakan akibat dari serangkaian penyebab dasar {root causes) atas 3
faktor tersebut, yakni kendaraan (5-10%), prasarana jalan (10-20%), dan
perilaku pengguna jalan (80-90%).
Dalam Tajuk Rencana Kompas yang berjudul "Hukum Rimba Jalan
Raya, ” (17 September 2013) dengan mengutip istilah Ignas Kleden (1986)
bahwa keamburadulan lalu lintas merupakan potret atau parameter
masyarakat pemakainya. Pola sosial budaya muncul dalam interaksi arena
transportasi dan komunikasi. Pola sosial budaya terlihat dalam taat tidaknya
melaksanakan pranata sosial sebagai kesepakatan bersama. Konkretnya,
jalan raya sebagai jalan umum memunculkan perilaku umum
masyarakatnya. Akan tetapi, norma di atas berkebalikan dengan keadaan di
lapangan. Berlalu. lintas identik dengan adu gesit dan adu nekad
menghindari kemacetan. Anonimitas jalan raya menciptakan sikap mau
menang sendiri. Gaya berangasan tampil berikut naluri-naluri binatang
lainnya. Ditambah sikap permisif umum masyarakat, suburlah hukum rimba
jalan raya. Berlakunya hukum rimba jalan raya merupakan sebab sekaligus
akibat.
Ketidakpastian penegakan hukum, yang kuat merasa berhak
menang— entah karena lebih kuasa, entah lebih punya duit untuk
memenangi perkara—membuat semua serba anomali. Penyimpangan dari
yang normal seolah-olah menjadi biasa. Ketidakpastian hukum beranak
pinak. Tidak saja keahlian "menggoreng" pasal-pasal hukum demi
keringanan hukuman si terdakwa yang punya kuat-kuasa atau eksekusi
pelaksanaan vonis yang bisa ditavvar dan dimodifikasi, tetapi juga perilaku
menyimpang jual-beli perkara. Praktek ini tidak hanya menyangkut
persoalan-persoalan besar, tetapi juga sampai ke soal-soal kecil-sederhana.
Turunannya, antara lain data jumlah kecelakaan lalu lintas akibat
pengendara tidak mematuhi aturan lalu lintas diabaikan. Tampilan lebih dari
separuh pelakunya tidak memiliki SIM dan hampir 20 persen di bawah usia
16 tahun tidak bicara apa-apa (Harian Kompas, 17 September 2013).

