Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10
12
‘terselubung’ mendapatkan suap, unfair-competition dalam dunia usaha akibat
konspirasi korupsi dan kolusi, ketidak-nyamanan iklim usaha akibat ‘gangguan’
dari oknum-oknum pemerintah Pusat dan Daerah merupakan beberapa contoh
praktek pemerintahan yang mencegah masuknya investor dan mendorong
larinya investor ke luar negeri. Survey Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan
dan Masyarakat tahun 1999/2000 menyimpulkan bahwa terdapat 4 (empat)
sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor
perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan. Dalam
sektor-sektor tersebut, antara 56-70 persen pegawainya dituding menerima suap
oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri.
Disamping itu, adanya kecenderungan dari oknum-oknum instansi
pemerintah untuk menyelesaikan secara administratif atas tindak pidana yang
terjadi dilingkungannya demi ‘alasan-alasan yang sempit’, bahkan seringkali
terkesan menghalang-halangi penyidikan. Ambivalensi sikap dan partisipasi
masyarakat ini jelas ikut menyuburkan tindakan korupsi serta mempersulit
penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Berdasarkan sejarah, terdapat 7 lembaga pemberantasan korupsi yang
sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim
Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv)
tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v)
dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK)
pada tahun 1999, (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Timtas Tipikor), dan (vii) KPK yang terbentuk di tahun 2003.
Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah.
Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian
pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957
melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris
Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting
dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas
menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya
disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau