Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
67
Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan penyelenggara negara
secara tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara
kekerasan fisik dalam bentuk konflik secara komunal. Selain itu,
psikologi masyarakat berada dalam situasi kegamangan sehingga
ancaman terhadap Kewaspadaan Nasional dalam bentuk konflik
komunal sulit dideteksi dan dicegah melalui mekanisme atau cara-
cara yang efektif.
Sebagaimana diketahui, pada masa Orde Baru, hampir tidak
ada mekanisme di tingkat masyarakat yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik akibat de-legitimasi lembaga-lembaga adat
oleh negara.66 Akhirnya, konflik tidak dapat dikelola secara efektif
dan cenderung digunakan kekuatan, represif oleh alat negara untuk
meredam konflik berkelanjutan. Konflik yang tidak terakomodasi ini
lambat laun akan menimbulkan kekerasan berbentuk tindakan
destruktif dan menimbulkan korban. Hal ini diakibatkan oleh
minimnya peran serta seluruh pemangku kebijakan (stakeholders)
dalam tatanan kehidupan politik nasional dalam menata manajemen
konflik agar berjalan lebih efektif.
Dalam meningkatkan Kewaspadaan Nasional terhadap konflik
komunal, partai politik sebagai salah satu pemangku kepentingan
(stakeholder) yang utama dalam tatanan politik nasional memiliki
kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan politik kepada para
konstituen dan masyarakat pada umumnya. Partai politik harus
dapat membina, mendidik dan memberikan pemahaman kepada
para kadernya bahwa setiap penyelesaian persoalan misalnya
sengketa hasil pemilihan kepala daerah agar jangan sampai
dilakukan dengan mengedepankan aksi kekerasan. Keberadaan
parpol dalam penataan manajemen konflik di masyarakat memiliki
peran yang sangat strategis, agar masyarakat memiliki kesadaran
akan hak dan kewajibannya untuk turut serta dalam memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa.
66 Colombijn, Freek and J. Thomas Lindband, ed., 2002, Roots o f Violence in Indonesia,
Singapore.