Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
Aspek Legalitas
Pengesahan UU KIP pada 3 April 2008 terjadi setelah hampir tujuh tahun masa
pembahasan. RUU KIP (dulu KMIP/Kebebasan Memperoleh Informasi Publik)
mulai diajukan DPR periode 1999-2004 tepatnya tahun 2001, dan mulai dibahas
kembali pada DPR periode 2004-2009 tepatnya tahun 2005. Lamanya
pembahasan UU KIP karena ada beberapa isu krusial dan subtansial tentang
definisi badan publik, batasan informasi publik yang bisa dirahasiakan dan
informasi apa yang bisa dibuka ke publik, serta sanksi denda bagi lembaga
penyedia informasi publik dan masyarakat selaku pengguna.
Setelah disahkan, UU KIP menjadikan Indonesia salah satu negara yang memiliki
peraturan yang menjamin hak warga atas informasi. Artinya, harapan akan
terwujudnya pemerintahan yang transparan dan akuntabel sudah terlembagakan.
Masyarakat sudah memiliki jaminan hukum yang mengatur haknya untuk
mengakses informasi dari badan publik. Mereka dapat meminta informasi yang
dibutuhkan dalam rangka ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Selain itu, UU
KIP menjadi katalis dalam pemisahan antara informasi yang berhak didapatkan
oleh masyarakat dengan informasi yang bersifat rahasia.
Beberapa hal yang menjadi kewajiban badan publik sebagaimana terdapat dalam
UU KIP antara lain:
1. Mendokumentasikan, menyediakan dan melayani permintaan informasi publik
(Pasal 1 ayat 9)
2. Menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik selain
informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan (Pasal 7 ayat 1)
3. Menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan
(Pasal 7 ayat 2)
4. Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk
mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses
dengan mudah (Pasal 7 ayat 3).
5. Membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk
memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik (Pasal 7 ayat 4).
6. Memberikan pertimbanan secara tertulis dalam setiap kebijakan yang memuat
pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan
keamanan negara (Pasal 7 ayat 5).
7. Memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik (Pasal 7
ayat 6).
8. Menyusun kearsipan dan pendokumentasian informasi publik (pasal 8 )
9. Menunjuk dan menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(Pasal 13 ayat 1)
Pentingnya persoalan kebijakan pernah dinyatakan O’Hare (2003: 193) bahwa
kebijakan pengelolaan informasi tidak boleh dipandang parsial dan harus dikaitkan
dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan organisasi, agar bisa menjadi panduan
bagi siapa saja dalam memberikan layanan informasi kepada publik.
Secara nyata pemerintah telah mengupayakan penyelesaian Peraturan
Pemerintah (PP), Petunjuk Teknis (Juknis), pedoman serta kebijakan lain yang