Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11
39
akan makna “lokalitas" yang dikemas dalam kosa kata "putra
daerah", munculnya penguasa atau raja-raja kecil, dan menipisnya
tingkat saling percaya (mutual trust) dalam kehidupan masyarakat.
Akibatnya, berbagai masalah yang sumbemya berbau
kemajemukan, mudah menjadi konflik yang dipicu identitas lokal.
c. Lemahnya ketauladanan tokoh formal, informal dan non-
form al dalam mengaplikasikan nilai-nilai kearifan lokal.
Ketauladan pemimpin atau tokoh dalam bentuk perilaku nyata
sesuai nilai-nilai kearifan lokal jauh lebih berpengaruh daripada
sederet teori kepemimpinan. Saat ini model kepemimpinan tidak
dapat lagi dijelaskan dengan bahasa hitam putih, benar atau salah,
tetapi sejauh mana relevansi suatu model kepemimpinan dapat
meningkatkan harkat kemanusiaan seluruh rakyat atau bangsa
dalam mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Gejala kekecewaan terhadap tokoh-tokoh publik di lingkungan
formal, informal dan non-formal saat ini menandakan lemahnya
tokoh panutan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
yang taat norma moral, norma hukum demi terwujudnya good
governance dan clean government.
Para tokoh atau pemimpin tersebut menjadi penting bukan
semata karena ketokohan mereka melainkan karena posisi dan
peran dalam perubahan masyarakat. Dalam konteks masyarakat
Indonesia, para pemimpin dalam berbagai kalangan diposisikan
sebagai agen yang memfasilitasi perubahan dan percepatannya
termasuk dalam bidang pembangunan, demokratisasi, otonomi dan
hak asasi manusia. Oleh karena itu pemimpin ini dianggap sebagai
“minoritas kreatif.17 Mereka ini sebagai sejumlah kecil orang yang
memiliki energi lebih besar dari masyarakat yang lain, memiliki
kejemihan fikiran di tengah lautan kekeruhan di sekitarnya, memiliki
semangat jauh lebih besar dari masyarakatnya yang putus asa,
17 Stephen P. Robin, Perilaku Organisasi, Jilid II, Jakarta, PT. Prenhallindo, 2001, hal. 38.