Page 12 - Perpustakaan Lemhannas RI

40

c. Belum optimalnya kinerja aparatur negara untuk mencegah maupun
mengatasi konflik komunal. Dengan terjadinya konflik-konfiik sosial baik yang
berlatar belakang agama, terkait Pilkada, masalah pertanahan maupun
masalah-masalah lainnya, muncul kesan seolah-seolah ada pembiaran dari
pihak Polri, mengingat dari hasil analisa dan evaluasi konflik-konfiik tersebut,
pada umumnya sejak awal kejadian, Polri sebenarnya sudah mengetahui
dan telah mendeteksi adanya gejala konflik sosial, sebagian kelompok
masyarakat yang akan menyerang kelompokmasyarakat lainnya. Dan Polri
pun telah melakukan langkah-langkah pengamanan oleh satuan Polri
terdepan yakni Polsek, namun ternyata jumlah massa yang datang jauh tidak
seimbang dengan jumlah anggota Polri yang melakukan pengamanan di
lokasi. Karena jumlah yang tidak seimbang tersebut akhirnya Polri tidak
mampu mengendalikan massa sehingga terjadilah kasus penganiayaan,
pembunuhan maupun pengrusakan sejumlah asetmasyarakat maupun aset
Pemerintah. Hasil evaluasi disimpulkan bahwa aparat intelijen/aparat
keamanan setempat tidak dapat mendeteksi perkiraan jumlah massa yang
akan melakukan aksi unjuk rasa. Selanjutnya melalui sistem komunikasi yang
dimiliki Polri, Kepala Satuan terdepan kemudian melaporkan kejadian
tersebut kepada Kepala Satuan yang lebih tinggi untuk meminta bantuan
perkuatan, namun ternyata bantuan yang dimintakan datangnya terlambat,
karena lokasi konflik yang jauh dan membutuhkan persiapan untuk menuju
ke lokasi kejadian. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, maka jika terjadi
konflik akan tidak tertangani dengan baik, berakibat menjadi konflik yang
berkepanjangan sehingga akan mengancam stabilitas keamanan dan
integrasi bangsa

d. Kurangnya peran tokoh masyarakat dalam mencegah maupun
menanggulangi konflik komunal. Peran tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh
agama, tokoh-tokoh adat maupun tokoh pemuda dalam konteks konflik
komunal, dewasa ini dinilai mulai menurun, hal ini tentunya disebabkan