Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI

24

Kondisi yang lebih memprihatinkan sesungguhnya terjadi di
sektor pertambangan umum (pertambangan mineral dan batubara).
Praktek pengusahaan dengan pola G to B, dengan menggunakan sistem
konsesi - penyerahan kuasa pertambangan atas wilayah - langsung
dari Pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tambang tanpa
membedakan apakah milik negara sendiri ataukah milik negara lain
sudah dijalankan sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pola ini tetap berlanjut,
meski UU No. 11 tahun 1967 tidak lagi berlaku dan digantikan UU Rl
Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba).

Sistem konsesi G to B yang diwujudkan ke dalam Kontrak Karya
tidak hanya menyebabkan Negara sepanjang sejarahnya tak pemah
memiliki perusahaan tambang milik negara yang benar-benar berskala
besar (berbeda halnva dengan Pertamina sebelum berlakunya UU
Migas 22/2001), tetapi Negara juga tak memiliki kontrol yang kuat atas
proses eksplorasi dan eksploitasi tambang umum yang ada. Tarif royalti
yang dikenakan oleh Pemerintah - yang jelas tak pandai berbisnis
karena secara hakikat bukan merupakan entitas bisnis - pun menjadi
sangat rendah, tidak berkeadilan, dan (kadang-kadang) sulit diterima
akal sehat.

b. Dalam buku “Batubara Indonesia”, Irwandy Arif menjelaskan
bahwa sumber daya alam seperti mineral dan batubara dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) konsep. Konsep pertama, yaitu sumber
daya alam sebagai blessing, bisa terjadi apabila sumber daya alam
tersebut dimanfaatkan dengan baik. Konsep kedua, sumber daya alam
sebagai curse, terjadi apabila sumber daya alam tersebut tidak
dimanfaatkan dengan baik. Sumber daya alam di Indonesia masih
termasuk dalam konsep blessing, namun mulai menjurus ke arah curse.
Hal ini akibat belum adanya kebijakan yang tepat dalam mengelola
industri pertambangan. Peran Pemerintah sangat dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dalam industri