Page 4 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 4

86

          Hal ini diperkuat oleh sistem belajar-mengajar di institusi pendidikan

vokasional yang berbeda dengan sekolah-sekolah umum. Mereka rata-rata
 menggunakan kurikulum tersendiri yang memadukan pengajaran,

pelatihan, dan pengasuhan. Artinya, pelajar sekolah vokasional bukan
hanya memperoleh materi pengetahuan sebagaimana ada pada institusi

perguruan tinggi umum, tetapi juga memperoleh beragam pelatihan khusus
(yang sesuai dengan bidang kerja yang akan dimasuki) dan memperoleh

pengasuhan atau pendampingan secara khusus pula, baik yang dilakukan
oleh para pengajar maupun para senior.

          Secara psikologis kita menemukan gabungan antara kebanggaan,
keseksian institusi, dan model karakter yang dibangun oleh sistem

pendidikan vokasional. Model karakter ini sangat dipengaruhi oleh realitas
mekanisme yang ada di dunia kerja yang akan dimasuki para lulusan
institusi pendidikan vokasional— baik realitas kongkret maupun supra-
realitas35-yan g gambarannya sudah diketahui melalui pelatihan-pelatihan

spesifik sejak menjalani pendidikan. Dan melewati proses perjalanan

waktu, terbentuk karakter institusi dan ‘kehidupan’ yang khas institusi
vokasional (tersebut) dan mempengaruhi penerapan pendidikan karakter
yang diajarkan.

         Ada dua kemungkinan realisasi penerapan pendidikan karakter yang
diajarkan: pertama, pendidikan karakter yang diajarkan dan realitas

‘kehidupan’ di institusi vokasional (tersebut) bagai air dan minyak dalam

35 Istilah realitas kongkret mengacu kepada pengertian kenyataan yang benar-benar nyata
beserta prosesnya. Misalnya realitas tugas sehari-hari seorang sekretaris kelurahan yang
mengurus surat-menyurat (model redaksi surat-menyurat kelurahan, model pengagendaan
kegiatan lurah, dan seterusnya); atau realitas tugas sehari-hari ahli turbin pada kapal.
Sementara supra-realitas mengacu kepada suatu aktifitas yang bersifat abstrak namun
sesungguhnya nyata. Misalnya ikatan kekeluargaan alumni yang kuat yang melahirkan
subyektifitas dalam penempatan (subyektif belum tentu tidak tepat; itu dua substansi yang
berbeda); atau jabatan-jabatan tertentu yang secara tidak tertulis me.rupakan ‘jatah’ alumni
sekolah vokasional. Di era Orde Baru, jabatan lurah dan camat dan bahkan walikota/bupati
seolah-olah adalah jatah lulusan IPDN/IIP. Ini memang tidak tertulis karena
walikota/bupati ketika itu dipilih oleh presiden sesuai usulan gubemur dan DPRD dan
lurah/camat dipilih oleh walikota/bupati. Namun realitas kongkret memperlihatkan
kenyataan seperti itu. Kajian yang baik mengenai prinsip-prinsip realitas ini dalam konteks
semiotik adalah buah pikiran filsuf Perancis, Roland Gerard Barthes yang tersebar pada
banyak buku dan artikel. Metode yang digunakan Barthes dalam teori-teorinya adalah tes
komunikasi serta analisis paradigmatik dan sintagmatik. Baik juga dilihat pemikiran-
pemikiran para pengembang teori semiotik (disebut sub-teori semiotika), antara lain C.S.
Peirce, John Deelv. dan Umberto Eco.
   1   2   3   4   5   6   7   8   9